Menyikapi Rumus Ciptaan Tuhan

Labels: |

Sebagai insan yang terdidik, seorang mahasiswa sangatlah paham dan mengerti apa sebenarnya subtansi dari kata ‘hasil atau result(?) Meskipun tidak sedikit dari mereka –termasuk penulis- yang belum bisa mendefinisakan kata tersebut dengan kalimat yang ‘pas’ dan apik. Sederhanya, ‘hasil’ bisa dikatakan sebuah pencapain akhir dari sebuah aktivitas atau usaha. Dengan kata lain, hasil merupakan sebuah keadaan yang terjadi akibat keadaan (red: aktifitas, usaha dll.) yang terjadi sebelumnya.

Tuhan memang telah menetapkan sebuah ‘rumus’ yang –mau tidak mau- harus dijalani oleh manusia di muka umi ini, bahkan semua makhluk ciptaan-Nya. Sehingga dengan rumus tersebut, manusia yang notabene adalah makhluk yang paling mulia –karena akalnya- bisa merencanakan segala hal yang ingin dicapainya di hari esok. Selain itu, dengan rumus tersebut, manusia –setidaknya- bisa menerima segala konsekuensi keadaan hidup di dunia yang sedang dijalaninya, begitu juga keadaan kehidupan di akhirat nanti setelah kontrak hidupnya di dunia telah habis. Rumus itu tidak lain adalah ‘hukum sebab dan akibat’.

Manusia mengakui bahwa rumus yang telah diciptakan oleh Tuhan ini memang selalu ‘terpraktekkan’ dalam kehidupannya, baik disadari maupun tidak. Selanjutnya, akal yang telah dianugerahkan kepada manusia yang memiliki fungsi sebagai ‘barometer’ dalam menilai sebuah kebenaran juga tidak melihat adanya sedikit ‘kemlesetan’ dalam rumus ini. Ini mengindikasikan bahwa rumus ciptaan Tuhan ini mempunyai nilai validitas yang paten. Meski di samping itu, tidak sedikit fenomena yang terjadi di kehidupan ini dan nalar manusia tidak bisa menaruhkan rumus ini dalam fenomena tersebut. Hal semacam ini sebenarnya tidak menunjukkan bahwa rumu tersebut tergores validitasnya. Akan tetapi, lebih kepada nalar manusaialah yang masih belum bisa mencapai sisi rahasia di balik fenomena tersebut. Karena manusia yang notabene adalah sang pemilik nalar itu sendiri telah mengakui bahwa nalar yang dimilikinya mempunyai keterbatasan dalam melihat dan menganalisa sebuah fenomena kehidupan.

Jika demikian, status ‘valid’ yang dimiliki rumus ini seharusnya bisa memberi manfaat yang sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia. Dengan mengetahui validitas rumus ini, manusia pastinya akan lebih serius dan semangat dalam berusaha dan berupaya demi meraih sebuah ‘result’ yang baik. Karena ia tahu, ’hasil’ yang maksimal terjadi akibat adanya ‘usaha’ yang maksimal pula. Selain itu, -dengan mengetahui rumus ini- manusia setidaknya juga bisa merencanakan segala ‘hasil’ yang ingin ia capai di kemudian hari. Sebab, rencana –boleh dibilang- tidak jauh sama artinya dengan ‘hasil’. Jika manusia benar-benar ingin segala rencananya terealisasi sesuai harapannya, niscaya usaha maksimal juga akan ia lakukan dalam merealisasikan rencana-rencana tersebut demi hasil yang ia ingin raih tadi. Namun sayang, dari sekian banyak manusia yang mengetahui rumus ini, masih ada juga di antara mereka yang hanya berdiam, berpangku tangan dan berangan tanpa dibarengi dengan usaha untuk mencapai angan tersebut.

Lebih disayangkan lagi jika ‘tawakal’ -berserah diri kepada Tuhan- dijadikan sebagai sebuah ‘alasan’ oleh orang-orang yang hanya –bisa- berangan ini mengapa mereka tidak mau berusaha dalam merealisasikan dan mencapai angan-angannya. Tindakan semacam ini –mungkin- lebih disebabkan karena mereka meyakini bahwa Tuhan juga telah mempunyai rencana (red: takdir) yang akan diterapkan di kehidupan manusia. Pemahaman –tawakal- semacam sebenarnya tidaklah pas. Karena tawakal sendiri sebenarnya mencakup dua segi. Pertama, pasrah dan percaya kepada Tuhan, serta yakin bahwa rencana Tuhan pasti akan terjadi. Kedua, berusaha dalam mencapai rencana tersebut (al-akhdzu bi al-asbâb). Kedua segi inilah yang dinamakan ‘tawakal’ yang sebenarnya. Ini bisa dilihat ketika Nabi Saw menegur seoarang sahabat yang tidak mengikat tali untanya dan hanya berpasrah kepada Allah Swt. Nabi Saw pun menyuruh sahabat tersebut untuk mengikatkan tali untanya, kemudian baru menyuruhnya bertawakal –menyerahkan segalanya- kepada Allah Swt.

Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh sahabat Umar Bin Khattab Ra saat mengomentari tindakan orang-orang yang hanya duduk di masjid, berdoa, dan mengharap datangnya rezeki tanpa diikuti dengan sebuah usaha. Sahabat Umar pun berkata: janganlah salah seorang dari kalian hanya duduk tanpa –berusaha- mencari rezeki dan hanya berdoa “Ya Allah, berilah aku rezeki” sedangkan dia sendiri mengetahui bahwa langit tak akan pernah menurunkan hujan emas dan perak, dan Allah Swt telah berfirman, “Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (Qs. al-Jumu’ah: 10) Manusia –dengan akalnya- memang diberi kebebasan dalam menentukan rencananya. Di samping itu, Sang Penguasa alam raya juga telah mempunyai rencana untuk diterapkan di kehidupan manusia. Namun ini tidak berarti bahwa manusia tidak perlu bekerja dan berusaha demi mencapai rencananya dan cukup berserah diri kepada Sang Penguasa sebab rencana Sang Penguasalah yang pasti akan terealisasi. Tidak demikian. Justru sebaliknya, manusia harus senantiasa bekerja dan berusaha demi mencapai rencananya, selanjutnya menyerahkan hasil usaha tersebut kepada Sang Penguasa, sebagaimana yang telah Nabi Saw ajarkan kepada sahabatnya tadi. Dan kalimat ‘wa min sunanilLâhi al-akhdzu bi al-asbâb’ rasanya pantas untuk direnungkan sejenak. WalLâhu a’lam bi al-shawâb.

*Kairo di sela musim semi,15-05-2010 08.25 CLT. Tepatnya H-7 menjelang ujian termin kedua.

0 comments:

Post a Comment