Ijtihad; Divestasi Sejarah dari Pemahaman Yang Salah

Labels: |

Dalam menjaga kestabilan ekosistem kehidupan di dunia ini dari kerusakan yang ditimbulkan oleh ulah manusia, Allah Swt telah mengutus para rasul yang semuanya dibekali dengan risalah. Risalah yang mengatur manusia agar bertindak dan berperilaku sesuai aturan yang telah telah ditetapkan oleh Allah Swt. Rasul demi rasul telah ditutus, risalah yang telah diamanhkan, telah mereka sampaikan kepada manusia. Namun, karakteristik manusia yang selalu condong ke arah ‘melanggar’, menuntut pengutusan rasul lagi, tidak lain untuk mengembalikan manusia ke jalan yang benar. Hingga sampai pada zaman yang telah ditetapkan, diutuslah seorang rasul terakhir, Muhammad bin Abdullah Saw yang dibekali dengan risalah suci nan istimewa. Keistimewaan dari risalah yang dibawanya ialah mencakup semua risalah para rasul sebelumya dan juga menghapusnya sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.

Seperti diketahui bahwa risalah Islam adalah risalah yang syâmil, artinya berperan sebagai pengatur segala aspek kehidupan manusia. Sehingga salah satu tugas penting Nabi Saw adalah menjelaskan segala hukum problematika kehidupan yang dihadapi manusia. Baik dalam bidang akidah, syariat, muamalat dan lain sebagainya. Dalam menjelaskan hukum suatu perkara, Nabi Saw biasanya menunggu wahyu dari Tuhan. Namun hal ini bukan berarti bahwa beliau tidak punya otoritas menggunakan akalnya untuk mencari solusi di setiap masalah (red: ijtihad). Lantas, apa sebenarnya ijtihad itu sendiri?

Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahdu atau al-juhdu yang berarti kemampuan. Sedangkan secara terminologi, menurut Imam Zarkasyi, ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan dalam mencapai sebuah hukum syariat amali melalui metode istimbat. Dari definisi ini, ijtihad (bisa dikatakan) merupakan hal yang sangat dibutuhkan pada masa sekarang ini. Apalagi, ketika banyak bemunculan problematika kehidupan yang belum dijelaskan status hukumnya oleh al-nushûs al-syar’iyyah. Dari sini, peran ijtihad dalam menjawab tantangan zaman sangat signifikan. Sehingga tidak mengherankan jika banyak ulama yang berpendapat; wajibnya berijtihad bagi orang yang memenuhi syarat dan mampu. Dan status Islam sebagai agama yang syâmil, mengatur segala aktifitas manusia (baik antara manusia dan Tuhannya ataupun antar sesama manusia) dapat dirasa.


Satu hal yang perlu dimengerti, kebolehan berijtihad tidak berarti seseorang dapat seenaknya berijtihad dalam segala bidang. Karena ada bidang-bidang tertentu yang tidak boleh disentuh oleh ijtihad. Bidang ini biasa diistilahkan oleh ahli ushul fikih dengan zona al-qath’iyyat. Artinya, segala hukum yang termasuk dalm lingkup zona ini tidak menerima dan tidak membutuhkan ijtihad. Sebut saja hukum tentang kewajiban salat, puasa bulan ramadhan, zakat, dan haji. Juga status haramnya zina, minum arak (segala sesuatu yang memabukkan), riba dan hukum-hukum lain yang statusnya telah dipatenkan oleh Syâri’, semisal hukum mawarits yang telah dijelaskan oleh al-Quran, hukum hudûd, qishâs dan sebagainya. Sederhanya, seseorang tidak dibenarkan melakukan ijtihad untuk melahirkan sebuah hukum yang berlawanan dengan hukum yang telah dikeluarkan oleh nas. Dalam kaidah fikih dan ushul fikih dinyatakan, “lâ ijtihâda fî muqâbalati al-nash”, tidak boleh ijtihad yang bertentangan dengan (hukum) nas.

Mengenai hukum ijtihad itu sndiri, para ulama sepakat bahwa ijtihad adalah fardhu kifayah. Artinya, jika sudah terdapat seorang ulama yang melakukan ijtihad maka gugurlah kewajiban ijtihad atas seluruh umat. Sebab, tidak semua umat akan mampu memenehui syarat dalam berijtihad. Sebaliknya, jika semua umat Islam disibukkan dengan ijtihad, maka yang ada adalah kevakuman aktifitas kehidupan. Sehingga dari sini, bisa dikatakan bahwa umat terbagi dalam dua golongan; pertama, golongan para mujtahid yang aktifitasnya terfokus dalam beristimbat hukum dan mengeluarkan fatwa sesuai hasil ijtihadnya. Kedua, golongan para mukallaf yang selalu bertanya dan menanti fatwa para mujtahid. Dalam al-Quran disebutkan, “…Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (Qs. al-Taubah: 122)

Otoritas Rasul dalam Berijtihad

Ketika membahas perihal ijtihad di masa Nabi Saw, penulis mencoba membagi topik bahasan menjadi dua bagian. Pertama, ijtihad yang dilakukan oleh Nabi Saw sendiri. Kedua, ijtihad yang dilakukan oleh para sahabat ketika Nabi Saw masih sugeng. Dalam menunaikan tugas dan mencapi misinya, yaitu menyeru umat manusia kepada ajaran Islam dan menjelaskan segala apa yang terkandung dalam al-Quran, Nabi Saw diberi kebebasan oleh Allah Swt untuk menggunakan akalnya dalam berijtihad. Baik dalam menjelaskan maksud dari ayat al-Quran atau segala hal yang berkenaan dengan hukum dan ajaran Islam. Namun (menurut sebagian ulama) jika dikembalikan pada al-Quran surat al-Najm ayat 3-4, “dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”, ada indikasi bahwa apa yang diucapkan oleh Nabi Saw tidak lain atas wahyu dari Tuhan.

Akan tetapi anggapan ini dibantah oleh mayoritas ulama dengan berdalih; pertama, dalam ayat lain, yaitu pada surat al-Hasyr ayat 2, “fa’tabirû yâ ulil abshâr” [Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan] mempunyai khithâb yang bersifat ‘âm, mencakup Nabi Saw dan seluruh kaum muslimin. Sehingga perintah i’tibâr dan analisa suatu kejadian atau permasalahan juga ditunjukkan kepada Nabi Saw. Kedua, larangan ijtihad berarti menganggap lemah pengetahuan dan daya pikir seseorang, dan hal ini tidak sepantasnya disandangkan pada Nabi Saw. Ketiga, mengenai surat al-Najm ayat 3-4, sebenarnya ayat ini meng-counter anggapan kaum musyrikin arab bahwa al-Quran adalah dari hasil karya Muhammad Saw.

Pendapat mayoritas ulama ini diperkuat dengan adanya riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi saw pernah berijtihad, dan itu tidak hanya satu atau dua kali saja. Sebut saja riwayat yang menjelaskan tentang ijtihad Nabi Saw menyikapi tawanan perang Badar, ijtihadnya menanggapi permintaan sahabat Abdullah untuk menyalatkan bapaknya, Ubay Bin Salul (pemimpin kaum munafik) ketika ajal merenggutnya, ijtihadnya ketika sekelompok kaum munafikin minta izin untuk mundur dan tidak ikut dalam perang Tabuk dan ijtihad-ijtihad yang lainnya. Dapat dikonglusikan bahwa ijtihad Nabi bisa dikategorikan jadi dua macam; ijtihad yang diiringi oleh wahyu ilahi sehingga ada ‘ushmah dari kesalahan dan ijtihad murni dari diri beliau. Jika murni dari diri beliau, ijtihadnya pun akan ditanggapi oleh wahyu ilahi, yaitu dengan menyetujui dan membenarkannya atau menyalahkannya dengan menunujukkan mana yang benar.

Selain Nabi yang berijtihad, sebagian para sahabat juga ada yang melakukan ijtihad di masanya. Adalah Amru bin Ash, salah seorang sahabat Nabi yang beijtihad dengan bertayamum dari hadas besar ketika perang Dzâti al-Salâsil disaat cuaca sangat dingin, yang kemudian ia mengimami salat jama’ah bersama para tentaranya. Sahabat ini berijtihad atas dasar firman Allah dalam surat al-Nisâ` ayat 29, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. Kabar ini pun sampi ke Nabi, dan beliau menanggapinya dengan sebuah senyuman yang berarti sebuah persetujuan. Ini menunjukkan bahwa ijtihad sahabat di masa Nabi ada, meskipun di sana ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kebolehannya. Karena pada akhirnya, semua ijtihad sahabat dikembalikan pada keputusan Nabi Saw.

Respon Sahabat Terhadap Problema Baru

Jika para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan sahabat berijtihad di saat Nabi Saw masih hidup, akan tetapi mereka sepakat pada kebolehan berijtihad setelah Nabi Saw wafat. Selain karena tidak ada tempat untuk bertanya dan selesainya penurunan wahyu, ijtihad sangat diperlukan mengingat banyaknya bermunculan problematika kehidupan yang belum dijelaskan dalam al-nushûs al-syar’iyyah (al-Quran dan al-Hadits). Sebut saja permasalahan memerangi kaum murtad dan enggan membayar zakat yang muncul pada awal masa kekhalifahan Abu Bakar. Karena mereka menganggap bahwa kewajiban membayar zakat hanyalah saat Nabi Saw masih hidup saja. Dalam menanggapi permasalahan ini, Abu Bakar berinisiatif untuk memeranginya, karena mereka telah membedakan antara kewajiban salat dan zakat, sedangkan keduanya adalah rukun Islam yang harus dikerjakan oleh seorang muslim.

Di lain waktu, Umar bin Khattab mengajukan sebuah usulan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan teks-teks al-Quran yang terpisah diantara tulang-tulang unta, pelapah kurma, lempengan batu dan lain sebagainya. Umar melihat, tindakan pengumpulan dan penulisan teks al-Quran harus dilakukan mengingat banyaknya Huffâdz yang syahid di peperangan Yamâmah saat melawan pengikut Musailamah al-Kadzâb. Dan Umar sendiri khawatir dengan adanya peperangan-peperangan di kemudian hari, semakin tambah pula para Huffâdz yang syahid, sehingga dampaknya adalah kemungkinan akan hilangnya sebagian al-Quran. Pada awalnya, Abu Bakar menolak usulan Umar ini, mengingat bahwa tindakan ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw. Namun setelah merenungi alasan-alasan yang dilontarkan oleh Umar, Abu Bakar pun menerimanya. Selanjtnya, dipilihlah sahabat Zaid bin Tsabit untuk melakukan tugas berat ini, mengingat ia dulu adalah penulis al-Quran di kala Nabi Saw menerima wahyu.

Ijtihad juga pernah dilakukan sahabat Utsman Bin Affan dalam masalah adzan di hari jumat. Ketika di masa Nabi Saw, adzan sebelum salat jumat hanya satu kali. Begitu juga pada saat khilafah dipegang oleh Abu Bakar dan Umar. Namun ketika masa pemerintahan Utsman, beliau menyuruh untuk menambah satu, sehingga menjadi dua kali adzan. Adzan pertama sebagai peringatan bahwa sudah masuk waktu salat, sedang adzan kedua menandai bahwa khatib akan segera menyampaikan khutbahnya. Tindakan ini tidak ada sanggahan dari para sahabat lainnya. Ini menunjukkan bahwa ijtihad Utsman terima dan dianggap sebagai al-ijmâ’ al-sukûty. Selain dari ketiga sahabat diatas, masih banyak sahabat-sahabat lain yang melakukan ijtihad. Antara lain Imam Ali dengan ijtihadnya ketika ditanya oleh Umar tentang sekelompok orang yang membunuh satu orang secara bersama. Sahabat Ali pun menjawab dengan meng-qishâh mereka. Ia menganalogikan dengan sekelompok orang yang mencuri seekor unta. Setiap orang mengambil pada bagian yang bebeda-beda. Maka mereka wajib dipotong tangannya. Begitu juga dengan sekelompok orang yang membunuh satu orang, maka mereka wajib menerima qishâs.

Perjuangan pun Diteruskan Oleh Tabi’in

Pintu ijtihad tidak hanya dilewati di masa Nabi Saw dan sahabat. Di masa tabiin dan setelahnya, masih banyak ulama yang berijtihad. Setelah Islam melakukan ekspansi di berbagai wilayah, halaqah keilmuan didirikan di wilayah-wilayah tersebut. Tidak sedikit ulama dari tabiin yang mengambil ilmu dari para sahabat. Di wilayah madinah misalnya, Said Bin al-Musayyab dan ‘Urwah Bin al-Zubair pernah berguru pada sahabat Umar, Ali dan Zaid Bin Tsabit. Hingga datang setelah mereka Ibnu Syihab al-Zuhry dan Malik bin Anas. Di wilayah lain, Mekah ada Abdullah bin Abbas yang menurunkan ilmunya pada ‘Ikrimah, ‘Atha`, Mujahid yang selanjutnya mereka sebarkan ilmu-ilmu tersebut pada generasi berikutnya, diantaranya Sufyan bin ‘Uyainah. Di Kufah ada Abdullah Bin Mas’ud yang menyebarkan ilmunya kepada murid-muridnya, dan seterusnya hingga sampai ke Abu Hanifah dan generasi seterusnya.

Adalah Imam Abu Hanifah, seorang ahli fikih dari Kufah yang hasil ijtihadnya dijadikan madzhab sampai sekarang. Ulama yang menjumpai generasi sahabat ini hidup antara tahun 80-150 H. Banyak ijtihad yang dia lakukan dalam membahas permasalahan-permasalahn baru, terutama mengenai mas`alah fiqhiyyah. Saking tinggi keahliannya dalam bidang fikih, Ibnu Mubarak pernah berkata “Tak pernah ku dapati sesorang sepertinya dalam bidang fikih”.

Begitu juga Imam Malik bin Anas, Ulama yang dijuluki Imâm al-Haramain ini selain berkecimpung dalam dunia hadist, juga seorang ahli fikih yang banyak melakukan ijtihad. Ulama yang mengarang kitab Muwatha` ini hidup antara tahun 93-179 H. Karena kekaguman terhadap Muwatha’ tersebut, khalifah saat itu (baca: Harun al-Rasyid) ingin menggantungnya di ka’bah sebagai rasa penghormatan serta untuk menyatukan kaum muslimin ketika itu. Malik bin Anas pun enggan dengan keinginan Sang Khalifah, karena menurutnya “setiap orang akan menilai dirinyalah yang benar, perbedaan ulama adalah rahmat dari Allah bagi umat ini, setiap orang akan mengikuti apa yang menurut dirinya benar, setiap orang mempuyai petunjuk dan setiap orang menginginkan ridha Allah”.

Generasi selanjutnya adalah Imam Syafi’i yang hidup antara tahun 150-204 H. Imam yang dikalangan mayoritas ulama dianggap sebagai orang yang pertama kali membakukan ilmu Ushul Fikih ini pindah ke Mesir setelah sebelunya pernah di Mekah dan Baghdad. Di Mesir beliau banyak menghasilkan karya, diantaranya yang sangat populer adalah kitab al-Umm. Keadaan di Mesir yang berbeda dengan keadaan saat ia berada di Baghdad mengharuskan ia untuk ijtihad dan mengeluarkan pendapat baru. Maka disebutlah hasil ijtihadnya di Mesir dengan al-Qaul al-Jadîd, sedang yang di Baghdad disebut al-Qaul al-Qadîm.

Di tempat lain ada Imam Ahmad bin Hambal yang hidup antara tahun 164-241 H. Pengarang kitab Musnad ini adalah salah satu ulama yang menolak pendapat Muktazilah bahwa al-Quran adalah makhluk dan bukan kalam Allah yang al-Qadîm. Pendapat Muktazilah yang disetujui oleh khalifah saat itu (baca: al-Makmun) menyebabka ia harus merasakan penderitaan di penjara. Dua khalifah setelahnya, yaitu al-Mu’tashim dan al-Watsiq pun masih setuju dengan pendapat Muktazilah. Sehingga penderitaan di jeruji penjara juga terus berlangsung sampai kurang lebih selama 14 tahun, hingga pada akhirnya khalifah al-Mutawakkil memegang pemerintahan dan menolak pendapat Muktazilah. Selain ahli dalam bidang hadits, Ahmad Bin Hambal juga termasuk ahli fikih yang hasil ijtihadnya banyak diterima oleh banyak umat hingga menjadi sebuah Madzhab sampai saat ini.

Ijtihad di Era Kontemporer

Bila membahas terma ijtihad di era sekarang, yang terlintas di benak biasanya adalah sebuah pertanyaan, apakah pintu ijtihad masih terbuka? Pertanyaan lain pun kadang terlontarkan, siapa sebenarnya yang menutup pintu ijtihad? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu kembali sejenak menengok sejarah masa lampau. Sejarah mengatakan bahwa ketika masa Imam Ahmad Bin Hambal, tepatnya saat khalifah dipegang oleh penguasa yang menganut paham Muktazilah, yaitu al-Mu’tashim, pemerintah mengharuskan rakyat untuk menerima pendapat Muktazilah, termasuk pendapat bahwa al-Quran adalah makhluk. Setelah lengser dari pemerintahan sekitar tahun 223 H dan kepemimpinan diganti al-Mutawakkil yang tidak lain adalah pengikut ahlusunah, paham Mu’tazilah sedikit demi sedikit terkikis.

Selanjutnya, untuk mengantisipasi tindakan ijtihad yang bisa saja dilakukan oleh orang yang bukan ahli dalam ijtihad ataupun orang yang tidak mempunyai kapabilitas tinggi dalam beistimbat, khalifah al-Mutawakkil menyuruh umat untuk mengikuti salah satu dari empat madzhab yang dianggap sah oleh ijmak umat, yaitu madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah. Namun pernyataan ini disalah artikan oleh sebagian kaum bahwa pintu ijtihad sudah ditutup, dengan dalih “mâ taraka al-awwalu li al-âkhiri syai`an”. Selain itu, statement ditutupnya pintu ijtihad juga dipengaruhi oleh aktifitas keilmuan pada abad ke-III dan IV Hijriyah. Di mana pada saat itu tidak banyak ulama yang mengeluarkan karya-karya baru, dan yang ada hanyalah aktifitas menalkhis karya ulama sebelumnya dan atau mensyarahnya. Situasi semacam ini menimbulkan kevakuman produktifitas karya, sehingga bertaklid pada hasil ijtihad dari para ulama sebelumnya adalah hal yang lumrah ketika itu. Sejatiya pintu ijtihad tidaklah tertutup, karena ini bertentangan dengan hukum ijtihad itu sendiri, yaitu fardu kifayah. Di sisi lain, banyak ulama yang menetang pendapat tertutupnya pintu ijtihad. Diantaranya adalah Imam al-Izzu bin Abdul Salam (669 H), Imam Suyuthi (911 H), Imam al-Syaukani (1255) dan lain-lain.

Dapat dikonglusikan bahwa pintu ijtihad memang tertutup bagi mereka yang tidak mempunyai kemampuan dalam berijtihad, mereka yang menjadikan ijtihad sebagai perantara untuk mengikuti hawa nafsunya dan mereka yang ingin memecah-belah umat Islam. Namun tidak bagi mereka yang memenuhi syarat menjadi seorang mujtahid, mempunyai pengetauhan luas dalam ilmu agama, mempunyai akal sehat, hati yang jernih dan tujuan yang mulia, yaitu menegakkan kalimat Allah. Dan firman Allah “fa’tabirû yâ ulil abshâr” [maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan] mungkin bisa jadi bahan renungan sejenak. WalLâhu a’lam bi al-shawâb.

*Sebagian isi telah dimuat di Buletin Prestasi KSW Mesir Edisi 83, September 2009.

3 comments:

Tazkia Fatimah said...

kang, kalau konsep ijtihad itu sendiri gimana yaa?
terus, syarat2 orang yang boleh melakukan ijtihad itu apa saja?

saya baca notesnya di fesbuk.. hehehe :D

nurelihsan said...

sederhananya, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencapai sebuah hukum syariat (ttg permasalahan furu'iyyah) dengan metode istimbat dari nas syar'i (al-Quran al-Sunnah dan ijma')
sedangkan cara pengambilan hukum sendiri bisa dilakukan dengan metode istihsan, mashalih al-mursalah, saddu al-dzaraa`i' dan lain sebagainya.
mengenai syarat mujtahid, Dr. Wahbah Zuhaily menyebutkan ada tiga:
pertama; pakar/ ahli dalam 1) al-Quran 2) al-sunnah 3) dan segala permasalahan yg sudah ada Ijma' diantara para ulama
kedua: pakar dalam ilmu ushul fikih
ketiga: pakar dalam ilmu-ilmu bahasa; nahwu, sharaf, balaghah dll.

Cipto Sembodo said...

Apakah ijtihad telah tertutup? sebagai fenomena sejarah dan intelektual, mestinya tak mungkin ijtihad tertutup. Faktanya juga demikian. Meski telah ditutup, tetap saja aktifitas intelektualini berjalan, besak atau kecil, mutlak, mustaqil, atau apapun namanya, toh aktifitas ijtihad, intellectual exercise exposing the true laws of the lord Allah SWT is consistenly continuing. Tapi, di Barat maupun di kalangan internal umat Islam, fenomena ini cukup kontroversial..

Post a Comment