Mengenal Hukum Wadh’i dalam Ilmu Ushul Fikih

Labels: |

A. Mukadimah

Islam adalah agama yang sempurna, yang hukum dan aturannya mencakup segala bidang dan aspek kehidupan manusia. Dalam bidang politik, Islam telah mengajarkan kepada para politisi bagaimana cara berpolitik, berfikir, dan berasumsi yang baik dan benar yang pada akhirnya dapat memberi kemaslahatan terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Hal ini tercermin pada peran Rasulullah Saw. saat menjadi presiden, pemimpin, dan khalifah umat Islam semasa berdirinya Daulah Islamiyah. Dalam bidang ekonomi, Rasulullah Saw. yang disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai Uswah Hasanah, telah memberi contoh kepada para bisnismen tentang bagaimana cara berniaga yang diperbolehkan dalam Islam. Dalam bidang pendidikan, Rasulullah Saw. telah memberikan metode kepada para dosen, mentor, dan da’i tentang bagaimana cara menyampaikan ilmu yang baik sesuai dengan keadaan penerima, sehingga ilmu yang disampaikan dapat diterima dengan jelas. Dalam bidang sosial, Islam telah mengajarkan tentang bagaimana cara bertetangga dan bermasyarakat yang baik sehingga bisa terjalin hubungan yang harmonis antar sesama, Rasulullah Saw. bersabda : Demi Dzat yang jiwaku barada di tangan-Nya, seorang hamba tidak dikatakan beriman sehingga ia mencintai tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Itulah sebagian bukti akan kesempurnaan dan perhatian Islam terhadap kemaslahatan hidup umat manusia. Permasalahan muncul setelah Nabi Saw. wafat. Beliau yang tidak lain adalah mediator antara Syâri’ dan mukallaf, telah menjadi rujukan para sahabat untuk menanyakan segala hukum yang terjadi pada masanya. Maka pada zaman sekarang, para ulama dituntut untuk bisa menentukan hukum permasalahan-permasalahan yang belum dijelaskan dalam al-Nushûsh al-Syâr’iyyah dengan menggalinya dari sumber hukum utama yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan metode yang telah disepakati oleh para ulama maupun yang ada ikhtilâf, seperti ijmâ’, qiyâs, istihsân, dan lain-lain.


Hukum oleh para ushûliyyîn didefinisikan sebagai khithâb Allah Swt. yang mempunyai kaitan dan hubungan dengan pekerjaan dan tingkah laku mukallaf yang di dalamnya terkandung kehendak atau permintaan (iqtidhâ`), kebebasan memilih (takhyîr), dan ketetapan (wadh’îe). Dalam ilmu ushûl fiqh, secara global hukum terbagi menjadi dua macam. Yang pertama, hukum taklîfîe, yaitu hukum yang berhubungan dengan beban (kulfah) bagi seorang mukallaf. Yang kedua, hukum wadh’îe, yaitu hukum yang berhubungan dengan hal-hal ditetapkannya suatu hukum syariat. Kedua macam hukum ini mempunyai macam dan bagian masing-masing. Pada makalah yang sederhana ini –atas izin dan ridha-Nya- penulis akan memaparkan tentang definisi hukum wadh’îe beserta macam dan bagiannya.

B. Definisi Hukum Wadh’îe
Hukum wadh’îe adalah hukum yang menetapkan dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), atau pencegah (al-mâni’). Hukum ini dinamakan hukum wadh’îe karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’îe adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mâni’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shâhîh), rusak atau batal (fâsid), ‘azîmah atau rukhshah. Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ada ikhtilâf di kalangan para ulama tentang al-shihhâh, al-buthlân atau al-fâsid, al-‘azîmah, dan al-rukhshah. Sebagian ulama menganggap hukum-hukum tersebut tidak termasuk dalam lingkup hukum wadh’îe. Akan tetapi sebaliknya, sebagian ulama lain menganggap bahwa hukum-hukum tersebut termasuk bagian dari hukum wadh’îe.

Adapun alasan mengapa rukhshah dan ‘azîmah bukan termasuk dalam hukum wadh’îe akan tetapi masuk dalam hukum taklîfîe adalah karena kedua hukum tersebut mengandung kehendak atau permintaan (iqtidhâ`) dalam hukum ‘azîmah dan kebebasan memilih (takhyîr) dalam hukum rukhshah. Sebaliknya pendapat yang menganggap bahwa ‘azîmah dan rukhshah merupakan bagian dari hukum wadh’îe dan bukan termasuk dalam hukum taklîfîe mengatakan bahwa rukhshah pada hakikatnya adalah sifat yang dijadikan Syâri’ sebagai sebab peringanan suatu hukum syariat, sedangkan ‘azîmah adalah kelangsungan adat dan kebiasaan yang menjadi sebab berlakunya hukum asli, seperti hukum kewajiban salat, zakat, dan lain sebagainya.

Sedangkan alasan mengapa al-shihhah dan al-buthlân atau al-fâsid tidak termasuk dalam hukum wadh’îe akan tetapi bagian dari hukum taklîfie, yaitu karena pada hakikatnya al-shihhah adalah pembo1ehan dari Syâri’ untuk memanfaatkan sesuatu, seperti pembolehan memanfaatkan mabî’ (barang yang dijual) oleh pihak pembeli. Sebaliknya al-buthlân adalah keharaman memanfaatkan sesuatu, seperti larangan memanfaatkan mabî’ jika akad jual beli batal atau tidak sah.

C. Macam-macam Hukum Wadh’îe
1. Sebab (al-Sabab)
Secara etimologi (al-sabab) mempunyai arti al-hablu (tali) dan sesuatu yang menghantarkan kepada maksud atau tujuan. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:
فليمدد بسبب من السماء (الحج: 15)
Artinya: Maka hendaklah ia merentangkan tali ke langit. (QS. Al-Hajj: 15)
و آتيناه من كل شيئ سببا فأتبع سببا (الكهف: 84-85)
Artinya: Dan kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka iapun menempuh suatu jalan. (QS. Al-Kahfi: 84-85)
Adapun secara terminologi al-sabab adalah sesuatu yang dijadikan oleh Syâri’ untuk mengetahui hukum syariat tertentu, artinya hukum syariat tersebut akan muncul jika al-sabab tersebut ada, sebaliknya hukum syariat akan hilang dengan tidak adanya al-sabab tersebut. Seperti firman Allah Swt. dalam surat al-Isrâ`:
أقم الصلاة لدلوك الشمس (الإسراء: 78)
Artinya: Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (QS. Al-Isrâ`: 78)
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat dzuhur. Allah Swt. juga berfirman dalam surat al-Baqarah:
فمن شهد منكم الشهر فليصمه (البقرة: 185)
Artinya: Maka barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa. (QS. Al-Baqarah: 185)
Terkandung dalam ayat tersebut bahwa melihat atau menyaksikan bulan ramadhan menjadi al-sabab kewajiban untuk berpuasa.

Setelah memperhatikan contoh di atas, di sana tidak ditemukan kesesuaian yang tampak antara adanya al-sabab dan munculnya suatu hukum syariat, kecuali yang diketahui oleh Syâri’ sendiri. Dalam hal seperti ini para ulama ushûl menyebutnya sebagai al-sabab dan al-‘illah, namun ada sebagian ulama yang menyebutnya al-sabab saja dan bukan al-‘illah, karena menurut pandangan mereka al-‘illah adalah yang mempunyai kesesuaian yang cocok antara hukum syariat dan al-‘illah.

 Perbedaan Antara al-Sabab dan al-‘Illah
Di kalangan para ulama terdapat ikhtilâf dalam membedakan antara al-sabab dan al-‘illah.
a. Pendapat pertama mengatakan bahwa sesuatu yang dijadikan sebagai tanda munculnya dan hilangnya suatu hukum syariat dimana antara sesuatu dan hukum syariat tersebut terdapat kesesuaian yang cocok dan jelas yang dapat diketahui dan diterima oleh akal pikiran manusia, maka hal ini disebut al-sabab dan al-‘illah. Sebagai contoh, berpergian (safar) menjadi al-sabab atau al-‘illah bolehnya berbuka dan memabukkan menjadi al-sabab atau al-‘illah keharaman arak. Dalam contoh tersebut akal pikiran manusia dapat menemukan satu titik kesesuaian antara hukum syariat dan al-sabab atau al-‘illah. Seperti dalam pembolehan berbuka puasa ketika safar disebabkan adanya masyaqqah, sebagaimana keharaman arak karena dapat menghilangkan akal manusia.

Sedangkan kesesuaian antara hukum syariat dan al-sabab yang tidak dapat diketahui oleh akal pikiran manusia dinamakan dengan al-sabab bukan al-‘illah. Seperti condongnya matahari yang menjadi al-sabab kewajiban salat dzuhur, melihat atau menyaksikan bulan menjadi al-sabab kewajiban bepuasa di bulan ramadhan, dan terbenamnya matahari menjadi al-sabab kewajiban salat maghrib. Dalam contoh-contoh tersebut akal manusia tidak dapat mengetahui kesesuian antara adanya al-sabab dan munculnya suatu hukum syariat, maka hal ini dinamakan al-sabab bukan al-‘illah. Dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan umum dan khusus antara al-sabab dan al-‘illah, yaitu setiap al-‘illah dapat dikatakan sebagai al-sabab, tapi sebaliknya setiap al-sabab belum tentu bisa dikatakan al-‘illah.

b. Pendapat kedua mengatakan bahwa kesesuaian yang jelas antara al-sabab dan hukum syariat, yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia disebut al-‘illah. Sedangkan yang tidak dapat diketahui oleh akal manusia disebut al-sabab. Dapat dikatakan bahwasanya al-sabab bukan al-‘illah, sebaliknya al-‘illah juga bukan al-sabab.

 Macam-macam al-Sabab
I. Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Al-Sabab yang menyebabkan adanya hukum taklîfîe. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang dijadikan Syâri’ sebagai al-sabab adanya kewajiban salat. Allah Swt. berfirman:
أقم الصلاة لدلوك الشمس (الإسراء: 78)
Artinya: Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (QS. Al-Isrâ`: 78)
b. Al-Sabab yang menjadi sebab penetapan hak milik dan kehalalan suatu barang, atau sebaliknya menghilangkan keduanya. Seperti akad jual beli, nikah, thalaq, dan lain-lain.

II. Dilihat dari segi ada dan tidaknya kemampuan seorang mukallaf dalam melakukannya, maka al-sabab dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Sesuatu yang ada dalam batas kamampuan mukallaf untuk melakukannya. Seperti berpergian (safar) yang menjadi al-sabab diperbolehkannya berbuka puasa, pembunuhan yang disengaja yang menjadi al-sabab adanya kewajiban qishâsh, dan lain-lain.
b. Sesuatu yang berada di luar batas kemampuan mukallaf. Seperti terbenamnya matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat maghrib.

2. Syarat (al-Syarthu)
Secara etimologi al-syarthu dapat berarti al-‘alâmah al-lâzimah (tanda yang lazim), Atau ilzâmu al-syai` wa iltizâmuhu (melazimkan sesuatu dan mewajibkannya). Bentuk jamaknya adalah al-syurûth. Sedangkan al-syarathu –dengan memberi fathah pada huruf ra`- berarti tanda (al-‘alâmah).

Adapun secara terminologi al-syarthu oleh para ulama ushûl diartikan sebagai sesuatu yang kemunculan suatu hukum syariat bergantung padanya, yang ia berada di luar hakikat sesuatu tersebut. Dan adanya al-syarthu tidak mengharuskan adanya hukum syariat, akan tetapi ketidakberadaannya mengharuskan hilangnya hukum syariat tersebut. Dalam definisi lain disebutkan bahwa al-syarthu adalah sesuatu yang sah dan tidaknya suatu hukum syariat tergantung padanya, dan sesuatu tersebut di luar dari pada hakikat. Sebagai contoh wudhu dalam salat. Keberadaan wudhu tidak mengharuskan adanya salat, akan tetapi ketidakberadaannya dapat menghilangkan sahnya salat, dan wudhu sendiri bukan bagian dari salat.

 Perbedaan al-Syarthu dan al-Ruknu
Al-Syarthu dan al-ruknu adalah sesuatu yang sah dan tidaknya suatu hukum syariat tergantung padanya. Perbedaan antara dua hal tersebut adalah bahwa al-ruknu termasuk bagian dari hakikat sesuatu, sedangkan al-syarthu bukan termasuk bagian dari hakikat sesuatu dan merupakan hal yang berada di luar dari inti. Sebagai contoh membaca al-fâtihah, ruku’, dan sujud merupakan rukun salat, sedangkan wudhu adalah syarat salat.

 Macam-macam Syarat
I. Dilihat dari segi hubungannya dengan al-sabab dan al-musabbab, al-syarthu dibagi menjadi dua macam:
a. Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-sabab, artinya al-syarthu menguatkan akan makna sebab akibat (al-sababiyyah) yang terdapat dalam hukum tersebut. Sebagai contoh, penjagaan harta benda adalah syarat untuk melaksanakan hadd dalam pencurian.
b. Al-Syarthu yang menjadi pelengkap al-musabbab, artinya menguatkan hakikat al-musabbab atau rukunnya. Sebagai contoh, menghadap kiblat menjadi syarat sahnya salat.

II. Dilihat dari segi sumber yang menetapkan, al-syarthu dibagi menjadi dua macam:
a. Al-Syarthu al-syar’îe, yaitu syarat yang telah ditetapkan oleh Syâri’. Seperti syarat-syarat yang terdapat dalam ibadah, muamalat, jinâyah, dan lain-lain.
b. Al-Syarthu al-ja’lîe, yaitu syarat yang dibuat dan ditetapkan oleh seorang mukallaf. Seperti syarat terjadinya thalâq yang ditetapkan seorang suami terhadap istrinya. Seorang mukallaf tidak bisa seenaknya dalam membuat dan menetapkan sebuah al-syarthu al-ja’lîe, karena telah ada batasan-batasan syariat yang telah dijelaskan. Sebagai contoh, seorang mukallaf tidak diperbolehkan menetapkan syarat yang dapat menghilangkan hakikat hukum syariat, karena pada esensinya syarat berperan sebagai pelengkap al-sabab yang telah memunculkan hukum syariat tersebut.

III. Al-Syarthu al-ja’lîe sendiri terbagi menjadi dua macam:
a. Syarat al-mu’allaq, yaitu syarat yang sah dan tidaknya suatu akad tergantung pada syarat tersebut, artinya seorang mukallaf telah menetapkan syarat dalam suatu akad. Sebagai contoh, perkataan seorang suami terhadap istrinya “jika kamu mencuri maka kamu bukan istriku.”
b. Syarat al-muqtarin bi al-‘aqdi atau syarat muqayyad, yaitu syarat yang menyertai sebuah akad. Seperti seorang yang menjual rumah dengan syarat tinggal satu tahun.

3. Al-Mâni’ (Pencegah)
Definisi al-mâni’ adalah sesuatu yang dijadikan oleh Syâri’ sebagai sebab hilangnya suatu hukum syariat atau rusaknya suatu al-sabab.
 Macam-macam al-Mâni’
Al-Mâni’ terbagi menjadi dua macam:
a. Mâni’ al-hukmi, yaitu al-mâni’ yang dapat menghilangkan suatu hukum syariat. Seperti tidak berlakunya qishâsh bagi seorang ayah yang telah membunuh anaknya.
b. Mâni’ al-sabab, yaitu al-mâni’ yang dapat menghilangkan al-sabab yang telah memunculkan suatu hukum syariat. Seperti mengurangi nisab dalam zakat yang menjadi al-mâni’ dari kewajiban zakat.

4. Al-Shihhah dan al-Buthlân
 Definisi al-Shihhah dan al-Buthlân atau al-Fâsid
Secara etimologi al-shihhah berarti sehat, antonim dari al-saqam yang berarti sakit. Adapun secara terminologi al-shihhah adalah sesuatu yang syarat dan rukunnya terpenuhi seperti apa yang telah ditetapkan oleh Syâri’, sehingga dengan terpenuhinya syarat dan rukun tesebut dapat menghasilkan al-âtsâr al-syar’iyyah. Contoh dalam ibadah, al-âtsâr al-syar’iyyah yang dihasilkan adalah hilangnya beban kewajiban bagi seorang mukallaf, seperti kewajiban salat, zakat, haji, dan lain-lain.
Sedangkan al-fâsid dan al-buthlân menurut jumhûr ulama adalah sinonim, yaitu mempunyai makna yang sama. Oleh karena itu setiap ibadah, akad muamalat, dan lain sebagainya yang sebagian syarat dan rukunnya tidak terpenuhi disebut al-fâsid atau al-buthlân. Sebagai contoh, akad jual beli yang dilakukan oleh orang gila, salat tanpa wudhu, dan lain-lain.

 Al-Shihhâh dan al-Buthlân atau al-Fâsid di Mata Hanafiyyah
a. Dalam Ibadah
Jika sebagian syarat dan rukun suatu ibadah tidak terpenuhi, sehingga tidak menghasilkan suatu al-âtsâr al-syar’iyyah, maka dalam hal ini mereka menyebutnya al-bâthil atau al-fâsid.
b. Dalam Muamalat
Jika dalam suatu akad muamalat salah satu rukunnya tidak terpenuhi, sehingga tidak menghasilkan al-âtsâr al-syar’iyyah, maka dinamakan al-bâthil. Seperti akad jual beli yang dilakukan oleh orang gila.
Jika dalam suatu akad muamalat semua rukunnya terpenuhi, akan tetapi sebagian syaratnya tidak terpenuhi, sehingga hanya bisa menghasilkan sebagian al-âtsâr al-syar’iyyah, maka mereka menyebutnya al-fâsid. Sepeti dalam akad jual beli yang harganya belum jelas. Dalam akad jual beli tersebut telah ditetapkan hak milik pembeli atas mâbi’ berdasar atas persetujuan penjual meskipuin harga belum jelas.

 Khilaf antara Jumhûr Ulama dan Hanafiyyah
Khilaf antara jumhûr ulama dan Hanafiyyah terjadi dalam dua hal, yaitu:
1) Dalam suatu akad yang disana terdapat larangan dari Syâri’.
Jumhûr ulama berpendapat bahwa suatu akad yang terdapat larangan dari Syâri’, maka akad tersebut dianggap batal dan tidak menghasilkan al-âtsâr al-syar’iyyah apapun.
Sedangkan Hanafiyyah berpendapat bahwa akad tersebut tidak batal namun orang yang melakukannya dianggap berdosa.
2) Dalam suatu akad yang larangannya terdapat dalam aushâf al-‘aqdi atau syarat akad bukan dalam rukun akad.
Jumhûr ulama mengatakan bahwa larangan suatu akad, baik larangan tersebut terdapat dalam rukun atau syarat, maka akad tersebut batal dan tidak menghasilkan al-âtsâr al-syar’iyyah apapun.

Sedang menurut Hanafiyyah, jika larangan tersebut terdapat dalam rukun suatu akad, maka akad tersebut batal, namun jika larangan tersebut terdapat dalam syarat (aushâf al-‘aqdi), maka akad tersebut rusak (fâsid) dan tidak batal, karena dapat menghasilkan sebagian al-âtsâr al-syar’iyyah.

5. Al-‘Azîmah dan al-Rukhshah
a. ‘Azîmah
Secara etimologi ‘azîmah berarti al-irâdah al-muakkidah atau al-qashdu al-muakkid, yaitu keinginan yang kuat. Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur`an:
فنسي و لم نجد له عزما (طه: 115)
Artinya: maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat. (QS. Thâhâ: 115)
Adapun secara terminologi ‘azîmah berarti hukum syariat bagi sorang mukallaf yang berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Seperti kewajiban salat, zakat, puasa, dan lain-lain.
b. Rukhshah
Secara etimologi rukhshah berarti al-suhûlah dan al-yusru, atau al-tashîl dan al-taisîr yang berarti memudahkan atau meringankan. Adapun secara terminologi rukhshah adalah hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Syâri’ sebagai peringanan beban bagi seorang mukallaf dalam kondisi tertentu, atau hukum syariat yang ditetapkan karena adanya halangan atau masyaqqah dalam keadaan tertentu.

 Macam-macam Rukhshah
a. Pembolehan sesuatu yang haram pada waktu darurat atau terpaksa. Seperti makan bangkai atau makanan yang diharamkan syariat ketika dalam keadaan sangat lapar, tidak ada makanan lain, dan takut akan kematian.
b. Pembolehan meninggalkan kewajiban. Seperti berbuka puasa bagi seorang musafir atau seorang yang sedang sakit di bulan ramadhan dikarenakan adanya masyaqqah.
c. Pembolehan suatu akad muamalat yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti akad jual beli pemesanan. Pada dasarnya akad jual beli pemesanan tidak diperbolehkan, karena barang yang dibeli tidak ada ketika akad berlangsung. Syâri’ telah membolehkannya karena adanya kebutuhan manusia dan telah menjadi hukum kebiasaan yang telah berlaku.

 Pembagian Rukhshah menurut Hanafiyyah
a. Rukhshah tarfîh, yaitu rukhshah yang hukum aslinya (‘azîmah) tetap berlaku dan mukallaf diberi kebebasan untuk mengambil rukhshah tersebut atau tetap melaksanakan hukum asli (‘azîmah). Seperti berbuka puasa bagi seorang musafir di bulan ramadhan. Jika musafir tersebut berbuka, maka ia telah mengambil rukhshah yang diberikan oleh Syâri’, namun ketika ia tetap berpuasa maka ia telah melaksanakan hukum asli (‘azîmah).
b. Rukhshah isqâth, yaitu rukhshah yang hukum aslinya (‘azîmah) hilang, karena kondisi yang memaksa harus adanya rukhshah. Seperti makan bangkai dalam keadaan darurat dan takut akan kematian.

D. Penutup
Hukum wadh’ie yang telah ditetapkan oleh Syâri’ sebagai faktor keeksistensian sebuah hukum syariat bagi seorang mukallaf, haruslah sangat diperhatikan sebagaimana menyikapi hukum taklîfie. Macam dan bagian serta ikhtilâf yang terjadi di kalangan para ulama dalam hukum tersebut yang telah dipaparkan oleh penulis, hanyalah sekedar sebagai pengantar studi saja, karena di sana masih banyak pembahasan yang tidak dapat dicantumkan dalam makalah yang sederhana ini mengingat situasi dan kondisi. Akhirnya semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis pribadi dan pembaca serta kaum muslimin pada umumnya. Wallâhu a’lamu bi al-shawâb.

Daftar Pustaka
1) Al-'Asqalâni, Bulûghul Marâm, Kairo: Dâr al-Mustaqbal, 2005.
2) Hakim, Abdul Hamid, Mabâdî Awwaliyah fî Ushûl al-Fiqhi wa al-Qawâ’id al-Fiqhiyah, Jakarta: Sa’adiyah Putra.
3) Khallâf, Abdul Wahhâb, ‘Ilmu Ushûl al-Fiqhi, Kairo: Dâr al-Hadîts, 2002.
4) Zaidan, Abdul Karim, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqhi, Beirut: Muassasatu al-Risâlah, 1996.
5) Abu al-Zahrah, Muhammad, Ushûl al-Fiqhi,Kairo: Dâr al-Fikri al-‘Arabi, 2006.
6) Al-Zuhaili, Wahbah, Ushûl al-Fiqhi al-Islâmi, Beirut: Dâr al-Fikr, 2006.

0 comments:

Post a Comment