Menelisik Hikmah di Balik Syariat Islam

Labels: |

Judul Buku : Hujjatullâhi al-Bâlighah

Pengarang : Syah Waliyyullah al-Dahlawy

Penerbit : Maktabah Dâr al-Turâts

Kota Terbit : Kairo

Tebal Buku : 420 hlm.

Cet. Pertama : 1355 H

Risalah Islam yang telah disampaikan oleh baginda Muhammad Saw tidak lain adalah sebuah bentuk perhatian Tuhan terhadap para hamba-Nya. Segala ketentuan dan aturan Tuhan yang harus dipatuhi oleh para hamba-Nya tercakup dalam risalah suci itu. Bahkan, segala aktifitas manusia, baik yang bersifat vertikal (baca: antara manusia dengan Tuhannya) ataupun yang bersifat horizontal (baca: antar sesama manusia dan makhluk lainnya) telah dijelaskan aturan mainnya dalam risalah tersebut. Meskipun tidak sedikit dari manusia yang tahu, apa sebenarnya hikmah dari aturan Tuhan tersebut(?). Ketika dihadapkan pada situasi seperti ini, timbul rasa keinginan dari seorang ulama besar yang berkebangsaan India untuk mengeluarkan sebuah karya yang membahas tentang hikmah dan rahasia dibalik aturan Tuhan (baca: syariat) yang telah ditaklifkan kepada manusia. Menurut Syah Waliyyullah bin Abdurrahim atau yang lebih familiar dengan Imam al-Dahlawi, dalam disiplin ilmu hadits, pembahasan yang menempati tangga derajat yang paling tinggi adalah ilmu tentang ‘rahasia agama’. Artinya, ilmu yang membahas aspek hikmah dari pensyariatan suatu hukum dalam agama Islam ini selain memiliki nilai penting, juga merupakan sebuah ilmu yang seharusnya digeluti oleh kaum muslim, tentunya setelah perintah dan larangan-Nya ditaati.

Secara psikis, spirit seorang hamba dalam menjalankan syariat Tuhannya akan lebih meningkat, jika ia mengetahui hikmah di balik syariat tersebut. Dengan kata lain, nalar dan hati manusia akan lebih mantap dalam menjalankan titah Tuhannya dan menjauhi larangan-Nya jika ia mengetahui maslahat dari titah dan larangan tersebut. Selain itu, rasa ‘menerima konsekuensi’ atas pelanggaran syariat akan lahir dari hati seorang hamba setelah ia mengetahui bahwa syariat diciptakan Tuhan tidak lain adalah untuk kebaikan hamba tersebut. Sehingga dari sini, seorang hamba benar-benar paham dengan aktifitas dan ritual keagamaan yang dijalaninya setiap hari sebagaimana seorang ahli ilmu ‘arûdl (syair) yang sangat paham dengan buku-buku kumpulan syair. Meskipun sudah banyak hadits Nabi Saw dan atsar para sahabat dan tabiin yang menjelaskan perihal maslahat yang tersirat dalam hukum syariat, namun sedikit sekali ulama yang mengarang satu buku dan berkonsen menyusunnya secara sistematis mulai dari masalah ushûliyyah hingga furû’iyyah. Sehingga bukan hanya para ulama yang telah menguasai ilmu agama saja yang akan memahaminya, tapi orang biasa (baca: awam) pun akan ‘paham’ tentang hikmah syariat cukup dengan memiliki buku tersebut.

Adanya taklif, pembalasan (terhadap amal perbuatan) dan diturunkannya syariat sebenarnya semua itu bukan tanpa alasan. Dalam al-Quran, Allah Swt telah berfirman; Katakanlah: "Allah mempunyai hujah yang jelas lagi kuat, maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya." (Qs. al-An’âm: 143) Dan dari ayat ini, Imam al-Dahlawi terinspirasi dalam penamaan karyanya. Maka dinamakanlah bukunya dengan ‘Hujjatullâhi al-Bâlighah’. Jika ada orang beranggapan bahwa hukum syariat Islam nihil dari kemaslahatan, begitu juga bahwa antara amal perbuatan manusia dengan balasan yang akan diterimanya kelak di akhirat tidak ada kesesuaian, maka dalam bukunya tersebut, ulama ahli hadits ini telah membantah dan mematahkan asumsi tersebut. Selain tidak sesuai dengan al-sunnah al-nabawiyah, asumsi tersebut juga berlawanan dengan ijmak ulama pada masa awal Islam.

Dalam beberapa hadits sebenarnnya telah dijelaskan sisi hikmah dan manfaat dari disyariatkannya suatu hukum. Sebut saja kewajiban zakat yang disyariatkan tak lain untuk menghilangkan rasa bakhil dan melatih kedermawanan seorang muslim. Selain itu, zakat juga untuk mencukupi kebutuhan kaum fakir miskin. Dalam al-Quran, Allah juga menerangkan apa sebenarnya hikmah dan tujuan dari disyariatkannya puasa, yaitu untuk melatih manusia menahan hawa nafsunya hingga bisa meraih status ‘muttaqîn’. Begitu juga qishâs, yang disyariatkan tak lain adalah untuk membuat jera pelaku dari tindakan pembunuhan dan kriminal lainnya.

Selain kemaslahatan, hikmah dari disyariatkannya suatu hukum adalah untuk menghindar dari suatu bahaya atau agar tidak menyerupai ritual yang dilakukan orang-orang kafir. Sebut saja tentang larangan berjimak ketika sedang menyusui yang mempunyai tujuan agar tidak membahayakan kondisi bayi yang sedang disusui. Larangan salat saat matahari terbit dikarenakan orang-orang kafir sujud ketika itu dan lain sebagainya. Contoh usaha Nabi Saw dalam menggali hikmah pun menjadi pelajaran tersendiri bagi para sahabat. Sehingga tidak sedikit dari mereka juga mencoba menerobos tabir hikmah di setiap sisi syariat. Sebut saja Ibnu Abbas yang telah menjelaskan rahasia disunahkannya mandi hari jumat, Zaid bin Tsabit yang menerangkan sebab larangan menjual buah-buahan sebelum tampak kemanfaatannya, dan lain sebagainya. Usaha ini pun dilanjutkan oleh para tabiin dan ulama setelahnya. Yaitu dengan memahami seksama kandungan hukum syariat tersebut hingga menemukan ‘illah-nya. Dari sini, salah satu konglusi yang bisa ambil adalah bahwa hikmah di balik syariat tidak lepas dari dua hal; memberi kemaslahatan dan atau menghindar dari suatu bahaya.

Imam al-Dahlawi juga mewanti-wanti bahwa dalam menyimpulkan suatu hikmah syariat, seorang ulama tidak dibenarkan jika hanya berpaku dengan akalnya. Sebaliknya, harus berdasarkan al-nushûs al-syar’iyyah (baca: al-Quran dan al-Hadits). Artinya, orang yang hendak menentukan hikmah suatu hukum syariat harus memenuhi syarat dan ketentuan sebagaimana seorang yang ingin menafsirkan ayat al-Quran harus memenuhi syarat menjadi seorang penafsir. Meskipun sebagian manusia (baca: awam) mengetahui secara global bahwa setiap hukum syariat pasti mempunyai kemaslahatan yang kembali pada manusia.

Namun niat baik (baca: mengarang sebuah buku) dari penulis ini tidak diterima begitu saja oleh semua kalangan. Masih ada yang mengira bahwa tindakan ini masuk pada kategori terlarang. Baik secara nalar, karena ilmu ini membahas permasalahan yang ‘samar’, maupun secara syariat, karena ilmu ini tidak disusun oleh ulama salafu al-shâlih yang masa mereka lebih dekat dengan masa Nabi dan pemahaman mereka terhadap ilmu agama lebih dalam. Kedua alasan ini rasanya cukup untuk mengeluarkan statement ‘tak ada guna’ penyusunan buku ini. Akan tetapi, Imam al-Dahlawi tidak membiarkan statement itu mengganjal keinginannya. Beliau pun langsung membantah statement tersebut, bahwa jika dikatakan ilmu ini sangat ‘samar’ dan rumit, maka permasalahan ilmu kalam pun sebenarnya lebih rumit dari ilmu ini. Tapi realitanya, banyak ulama yang berkecimpung dalam ilmu kalam dan manyusun buku-bukunya. Selain itu, meskipun dari para salafu al-shâlih tidak ada yang menyusun buku tentang permasalahan ini, namun realitanya Nabi Saw telah membukakan jalan untuk menelusuri ilmu ini dengan menerangkan ushûliyyah dan furû’iyyah-nya. Selanjutnya, ahli fikih dari para sahabat pun meneruskan estafet ini sampai masa setelahnya. Dan kebersihan hati dan akidah mereka, serta kedekatan mereka dengan masa Nabi Saw bisa menjadi alasan mengapa mereka tidak membutuhkan penyusunan permasalahan ini dalam satu buku.

Dalam menyajikan karyanya, Imam al-Dahlawi membagi dalam dua bagian yang masing-masing memiliki bab dan pembahasan yang berbeda. Bagian pertama bisa dikategorikan sebagai kaidah-kaidah global yang darinya bisa diambil suatu istimbat tentang kemaslahatan dari hukum syariat. Dalam bagian ini, beliau memaparkan segala sisi relasi antara manusia dan Tuhannya. Sebut saja tentang permasalahan sebab adanya taklif, kaidah pembalasan amal manusia, substansi kebahagiaan bagi manusia, hakikat kebaikan dan dosa, dan lain sebagainya. Selain itu, dalam bagian ini pula disinggung tentang istimbat hukum syariat dari hadits-hadits Nabi Saw dan juga sebab-sebab terjadinya perbedaan di antara pada sahabat dan tabiin dalam masalah furû’iyyah. Sedangkan pada bagian kedua, Imam al-Dahlawi lebih memfokuskan pada penjelasan secara lansung hikmah dan rahasia dari segala aturan Tuhan yang terbentuk dalam syariat Islam. Permasalahan keyakinan (baca: Iman) di bagian ini diletakkan oleh Imam al-Dahlawi pada pembahasan pertama. Dilanjutkan dengan permasalahan taharah (bersuci), salat, zakat, puasa, haji dan seterusnya. Nampaknya Imam al-Dahlawi telah sukses dalam menyusun dan menyajikan karyanya. Selain menarik, karena buku ini mengungkap sisi rahasia di balik aturan Tuhan, buku ini juga bisa menjadi jawaban dan bantahan dari banyak syubhât yang dilontarkan oleh para orientalis dan musuh Islam lainnya tentang kenihilan aturan Islam dari maslahat dan manfaat. Begitu juga dengan memiliki buku ini, seorang muslim akan lebih mengerti apa sebenarnya ‘maksud Tuhan‘ di balik syariat yang telah dibebankan pada pada hamba-Nya. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.

2 comments:

Anonymous said...

Masya Allah...
Syukron akhi

Anonymous said...

Masya Allah...
Syukron akhi

Post a Comment