Belajar Membaca ke Negeri Seribu Menara

Labels: |

 “Membaca adalah hak setiap manusia, bahkan kewajiban setiap manusia yang ingin merasakan hidup yang layak” (Dr. Toha Husein)

Setiap tahun, tepatnya di akhir bulan Januari hingga minggu pertama bulan Februari event besar selalu dihelat Cairo. International Book Fair atau yang lebih akrab disebut ma’radl telah menyedot animo sebagian masyarakat Mesir untuk memburu buku-buku baru atau sekedar berjalan-jalan bersama keluarga melihat buku-buku yang tertata di rak. Begitu juga bagi kaum akademis, rutinitas tahunan ini tidak dibiarkan berlalu begitu saja. Mereka biasanya memanfaatkan event ini untuk mencari buku yang sulit didapat, yaitu buku-buku yang diterbitkan oleh percetakan luar negeri yang tidak punya branch office di Mesir atau buku-buku langka yang sudah tidak dicetak lagi. 

Di sisi lain, para penjual (baca: penerbit) juga merasa senang dengan adanya event seperti ini. Selain karena bisa menjajakan dan mempromosikan buku-buku terbitan baru, rasa senang datang –mungkin- juga karena pemerintah Negara ini (baca: Mesir) sangat mendukung event seperti ini. Hal ini dapat dilihat dari tempat yang disediakan oleh pemerintah untuk melaksanakan event ini, yaitu berupa lokasi khusus yang terdiri dari belasan hall, ditambah tempat khusus pertunjukkan teater dan deklamasi puisi. Dan untuk menghilangkan rasa lelah setelah berkeliling dari satu toko buku ke toko buku yang lainnya, disediakan pula taman yang terletak ditengah-tengah lokasi dan Food Court. Sungguh, Negara ini sangat memperhatikan aspek peningkatan intelektual bangsanya.

Kedewasaan bangsa –menurut penulis- memang tidak hanya diukur dari kemajuan teknologinya, namun bisa juga dilihat dari peradaban dan budaya yang dilahirkan oleh bangsa tersebut. Kelahiran sebuah peradaban memang membutuhkan waktu yang sangat tidak sebegitu singkat. Ia memerlukan waktu bertahun-tahun dan bahkan berabad-abad. Karena peradaban suatu bangsa tidak dilahirkan ditangan satu orang saja, ia dilahirkan dari tingkat pengetahuan dan kapasitas keilmuan yang dimiliki masyarakat bangsa tersebut. Sehingga dari titik-titik kecerdasan individu masyarakat tersebut, akan bisa membentuk suatu cerminan peradaban suatu bangsa.

Dalam mencetak masyarakat yang cerdas dan memilki pengetahuan luas, setiap individu dari masyakat dituntut untuk aktif dalam menyerap pengetahuan yang berada di sekitarnya. Baik melalui mata, yaitu dengan membaca buku atau melihat dan menganalisa keadaan sekitarnya, atau melalui telinga, yaitu dengan mendengar tuturan ilmu dari orang lain. Kedua aktivitas ini (baca: membaca dan mendengar) adalah metode yang biasanya dipakai orang untuk menambah pengetahuan dalam dirinya, meski tidak bisa dipungkiri bahwa disana ada metode lain selain kedua metode tersebut. Dari kedua metode tersebut, membaca -menurut penulis- adalah metode yang ‘pas’ dan patut buat kalangan terdidik. Karena dalam aktivitas membaca, subjek dituntut memiliki dua hal; kemampuan dan keaktifan membaca.

Ungkapan yang mengatakan, “dalam lembaran buku, ku temukan serpihan ilmu” mungkin bisa dijadikan salah satu motivasi untuk sekedar membolak-balik halaman-halaman buku. Karena aktifitas tersebut menurut sebagian orang adalah aktifitas yang sangat membosankan. Sehingga dalam melakukannya pun sebagian orang memerlukan suatu motivasi. Ya, karena buku adalah sumber pengetahun, buku adalah lumbung ilmu, buku adalah cahaya yang akan menerangi orang yang membacanya.

Kesadaran membaca memang perlu ditanamkan sejak dini. Sehingga aktivitas membaca bisa menjadi hobi yang menyenangkan dan kegiatan yang tidak menjemukan. Lingkungan memang mempunyai peran yang cukup signifikan dalam membentuk individu yang suka membaca. Walaupun di sisi lain, sebenarnya pemerintah (baca: Indonesia) juga harus menggalakkan program yang mengajak masyarakat untuk sadar akan pentingnya membaca, semisal -dari penulis- program ‘gemar membaca’. Program ‘gemar membaca’ sendiri pun sebenarnya tidaklah cukup, karena aktifitas membaca tidak akan bisa dilakukan kecuali ada ‘buku’. Permasalahan muncul ketika ‘buku’ yang menjadi objek aktifitas, sukar untuk didapatkan oleh setiap individu disebabkan mahalnya harga buku tersebut. Nah, dalam hal semacam ini, sebenarnya pemerintah mempunyai peran yang sangat dibutuhkan, yaitu memberikan subsidi pada aspek pendidikan, khusunya dalam kepustakaan dan perbukuan. Sehingga setiap masyarakat tidak kesulitan dalam mendapatkan buku karena alasan harga yang mahal. Bukan sebaliknya, pemerintah malah mempersulit birokrasi penerbitan sebuah buku, dari kewajiban pajak terbit, registrasi hak cipta yang mahal dan lain sebagainya.

Sangat disayangkan jika pemerintah yang seharusnya mendukung program ‘gemar membaca’ dengan memberi subsidi dan memberi kemudahan bagi penerbit untuk mencetak buku-buku baru malah bertindak sebaliknya, mempersulit dan seolah memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menambah in-come mereka dengan menaikkan pajak terbit. Terakhir, tidak ada salahnya jika pemerintah mau belajar dari apa yang telah dilakukan oleh wanita nomer satu di Mesir, Suzan Mubarak. Selain menggalakkan program al-qirâ`ah li al-jamî’, istri presiden ini juga memberikan subsidi dan kontribusi dalam penerbitan buku, dengan menaungi salah satu percetakan yang menerbitkan buku-buku yang sangat terjangkau dan murah. Karena wanita ini yakin bahwa, dalam membentuk suatu peradaban dan kebudayaan di masyarakat dimulai dari menanamkan kebiasaan membaca dan cinta ilmu pengetahuan.

*Tulisan pernah dimuat di Buletin Prestasi Kelompok Studi Walisongo (KSW) Edisi 84, Maret 2010 di rubrik Catatan Pojok.

0 comments:

Post a Comment