Testimoni Nalar Tentang Eksistensi Tuhan

Labels: |

Salah satu nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan kepada hamba-Nya ialah akal. Bahkan, ia merupakan anugerah yang terbesar bagi manusia. Dengan akal, manusia menjadi makhluk yang paling mulia dibandingkan makhluk yang lainnya. Dengan akal, manusia bisa berpikir untuk kemaslahatan hidupnya. Dengan akal, manusia bisa mengendalikan hawa nafsunya dari perbuatan keji dan mungkar. Begitu juga karena akal, manusia diperintah untuk mentadaburi alam semesta beserta isinya sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Ya, peran akal bagi manusia sangat vital dan signifikan. Jadi sangat lumrah jika Tuhan mengharamkan segala bentuk perbuatan yang dapat menghilangkan akal, semisal minum arak, narkoba dan lain sebagainya.

Akal yang telah dimiliki manusia sebenarnya sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa Tuhan yang menciptakan alam raya ini ‘ada’. Karena kalau mau berfikir dan bertadabur, dalam diri manusia itu sendiri sebenarnya ada tanda-tanda keberadaan Tuhan. Dalam sebuah ungkapan dikatakan, “man ‘arafa nafsahu, ‘arafa rabbahu”, barangsiapa mengenal dirinya niscaya ia akan mengenal Tuhannya. Sederhananya, akal manusia mengakui dan mengetahui bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti ada yang menciptakan. Begitu pula sebaliknya, nalar normal menolak adanya sesuatu dengan sendirinya, tanpa ada pihak lain yang menciptakan. Eksistensi makhluk yang bernama manusia di bumi ini adalah salah satu bukti sederhana keeksistensian Tuhan. Semua orang yang menganut agama sepakat bahwa manusia bermula dari Adam. Teori evolusi yang telah disuarakan oleh para evolusionis, yang menyatakan bahwa manusia adalah berasal dari kera telah runtuh. Bahkan bisa dikatakan, teori tersebut adalah sebuah bentuk kebohongan para ilmuwan terhadap publik.


Ketika tabir kebohongan teori evolusi yang menyatakan bahwa manusia berasal dari kera telah tersingkap, dan manusia mengakui bahwa mereka berasal dari satu bapak, yaitu Adam As, pertanyaan pun akan muncul dari manusia yang mau berfikir; siapakah yang menciptakan Adam? Siapakah yang menciptaka bumi, langit dan seisinya? Apakah alam semesta ini ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan? Dan lain sebagainya. Berbagai asumsi muncul dari para manusia yang berfikir, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sikap mempercayai adanya kekuatan di luar batas kemampuan manusia timbul. Dan manusia pertama (red: Adam) sebenarnya telah memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, lambat laun manusia lupa dan –sengaja- melupakan jawaban yang telah diberikan oleh bapaknya. Entah karena terlena dengan gemerlapnya dunia, atau memang musuhnya (red: iblis) sudah mulai beraksi dengan tipu muslihatnya.

Nalar mulai enggan membiarkan pertanyaan-pertanyaan itu terpampang tanpa ada jawaban. Melalui proses berfikir dan menganalisa terhadap segala benda (red: makhluk) yang telah ada, nalar mencoba mencari jawaban. Dan dari proses berfikir dan menganalisa tersebut, terlahirlah beberapa konglusi logis. Salah satunya adalah, semua benda yang ada dan segala sesuatu yang berwujud tidak dapat meciptakan dirinya sendiri dan mengeluarkan dirinya dari zona ‘tidak ada’ ke dalam zona ‘ada’. Bahkan bisa dikatakan, segala sesuatu tidak bisa menjaga status ‘hidup’ yang dimilikinya dan memegang status ‘ada’ sepanjang waktu. Karena suatu saat, status ‘hidup dan ada’ akan berganti menjadi status ‘mati dan tak ada’, dan semua makhluk tidak bisa menghindar dari hal itu.

Jika demikian, ada ‘dua wujud’ yang saling berhubungan di sini; khâliq (pencipta) dan makhlûq (ciptaan). Relasi dari keduanya tak lain adalah dalam proses perpindahan dari ‘tak ada’ menjadi ‘ada’ yang dilalui oleh makhluk. Dalam hal ini, sang pencipta lah yang mengeluarkan dan memindahkan ‘ciptaan’ (makhluk) dari zona ‘tak ada’ ke dalam zona ‘ada’. Sehingga makhluk akan selalu identik dengan ketidakberdayaan dan kelemahan, sampai dalam menjalani fase kehidupan pun dia selalu memerlukan sang pencipta. Sebaliknya, sang pencipta selalu identik dengan kesempurnaan yang tak membutuhkan apapun kepada selainnya. Dan sang pencipta inilah yang selalu memberi kadar kekuatan dalam diri makhluk dalam menjalani kehidupan.

Proses perubahan status dari ‘tak ada’ menjadi ‘ada’ adalah salah satu ciri yang melekat pada makhluk. Dengan kata lain, segala sesuatu yang pernah merasakan dan menempati zona ‘ketiadaan’ akan dikatakan hâdits (baru), yang selalu menjalani proses perubahan. Dan sebaliknya, sifat qidâm (kekal) akan dimiliki oleh sang khâliq, yang awal dan akhirnya tiada batas, yang semua makhluk bergantung padanya dan yang tidak membutuhkan apapun kepada selainnya. Sehingga dari sini, nalar akan mengakui bahwa segala sesuatu yang berwujud di dunia ini berawal dari ketiadaan, termasuk alam raya ini. Statement ini tidak berarti bahwa sang pencipta -yang juga berwujud- pernah mengalami dan merasakan zona ‘ketiadaan’. Karena dengan ‘menempatkan’ sang pencipta pada zona ‘ketiadaan’, dapat mengindikasikan bahwa sang pencipta juga butuh pencipta lain untuk mengeluarkan dan memindahkan dirinya dari zona ‘ketiadaan’ ke zona ‘ada’. Sebab nalar mengatakan bahwa segala sesuatu tidak bisa menciptakan dirinya sendiri. Dari sini, akan terjadi sebuah ‘rangkaian penciptaan’ yang tidak terputus. Dan pencipta kedua pun akan membutuhkan pencipta yang lainnya dan seterusnya hingga tak terbatas, dan hal semacam ini tidak bisa diterima oleh nalar. Dari situ, nalar mengakui bahwa sang pencipta bereksistensi tanpa didahului oleh ketiadaan. Sebaliknya, semua makhluk dan alam raya semesta berwujud setelah melalui fase ketiadaan.

Dari paparan sederhana di atas, dapat dibuat silogisme sederhana, yaitu dengan premis pertama; alam raya dan seisinya adalah makhluk (hâdits). Premis kedua; setiap makhluk pasti punya pencipta (yang mengeluarkannya dari ‘tak ada’ ke ‘ada’). Konglusi dari kedua premis tersebut adalah bahwa alam raya dan seisinya punya pencipta (yang telah menciptakannya), yaitu Tuhan. Manusia yang mempunyai nalar sehat akan menerima kesimpulan ini. Dari sini, bukti keeksistensian Tuhan dapat dinyatakan lewat nalar dan rasa yang telah dimiliki manusia. Lantas, setelah manusia sepakat bahwa Tuhan memang ada, apakah mereka juga sepakat bahwa mereka juga menyembah Tuhan yang sama(?)

Banyaknya agama memberi isyarat bahwa manusia menyembah tuhan yang berbeda-beda. Tuhan yang disembah di agama satu, tidak sama dengan tuhan yang disembah di agama lain. Realita ini menimbulkan keeksentrikan pada nalar. Nalar tidak mungkin menerima bahwa semua tuhan yang disembah oleh setiap agama adalah benar semua. Nalar hanya menerima bahwa kebenaran ada pada satu tuhan saja. Karena jika tuhan lebih dari satu, kesan yang ada pada nalar adalah bahwa tuhan masih punya saingan, tuhan masih membutuhkan bantuan tuhan yang lainnya dan lain sebagainya. Pada situasi semacam ini, peran seorang utusan Tuhan (red: rasul) sangat terlihat. Selain menyampaikan pesan dari Tuhan kepada manusia, seorang rasul juga bertugas menunjukkan manusia bahwa Lâ ilâha illa Allâh (tiada tuhan selain Allah). Wallâhu a’lam bi al-shawâb.

0 comments:

Post a Comment