Dakwah Islamiyah; Sebuah Penawar Luka Intelektual

Labels: |

Islam adalah syariat pamungkas yang diturunkan oleh Allah Swt dengan menunjuk Muhammad bin Abdullah sebagai pengemban serta pembawa risalah agung ini. Sebagai agama yang diturunkan untuk memberi kedamaian dan rahmat bagi seluruh alam, Islam telah menyeru kepada umat manusia untuk kembali kepada fitrahnya, yaitu fitrah beragama Islam, tunduk dan patuh kepada Sang Pencipta alam, Allah Swt yang terrealisasi dalam bentuk sebuah pengabdian. Karena pada hakikatnya, manusia sebelum dilahirkan ke dunia ini, ia telah berikrar bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah Swt dan Allah Swt adalah Tuhan semesta alam yang tiada sekutu apapun bagi-Nya.

Dalam pencapaian tujuan –diturunkannya Islam- yaitu rahmatan li al-‘âlamîn, tidak akan bisa terwujud kecuali dengan mengetahui hakekat dari Islam itu sendiri serta ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya, yang mana bisa dimulai dari individu setiap insan. Oleh karena itu, Allah Swt. mengutus seorang rasul, Muhammad Saw. untuk menyampaikan, mengajarkan, dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Muhammad yang telah ditakdirkan lahir dari keturunan bangsa Arab dan hidup di tengah-tengah masyarakat yang berperadaban jahiliyah yang jauh dari cahaya kebenaran, harus memulai tugas berat dakwahnya dari nol. Watak keras dan keteguhan hati bangsa Arab dalam mengikuti tradisi dan ritual peribadatan menyembah berhala dari nenek moyang mereka, mengharuskan Nabi Saw. menempuh caranya sendiri, yaitu mengajak orang-orang di dekatnya untuk memeluk agama Islam dengan cara sembunyi-sembunyi dalam kurun waktu kurang lebih tiga tahun.

Hasilnya telah masuk Islam beberapa orang, baik dari kaum pria maupun wanita yang dikenal sebagai orang-orang yang berpikiran waras dan berjiwa bersih karena telah meninggalkan tradisi kelam jahiliyah. Istri Nabi Saw., Sayyidah Khadijah adalah orang pertama kali yang beriman dan masuk Islam. Kemudian Ali Ra. yang baru berumur 10 tahun, dan selanjutnya disusul Zaid Bin Haritsah dan Abu Bakar Ra.. Sedangkan dari kalangan hamba sahaya yang pertama melafalkan kalimat syahadat ialah Bilal Bin Ribbah al-Habasyi.
Dakwah secara terang-terangan pun dilakukan Nabi Saw. dan para pengikutnya yang berjumlah tiga puluhan setelah ada perintah dari Allah Swt. “maka sampaikanlah secara terang-terangan apa-apa yang diperintahkan kepadamu dan berpalinglah dari orang-orang musyrik”. (QS. Al-Hijr: 94).

Maka, tantangan dan rintangan berat harus dihadapi Nabi Saw. dan para sahabat, bahkan tekanan-tekanan dari kaum musyrikin tidak bisa dihindari, karena mereka takut kalau Nabi Saw. membongkar kebodohan-kebodohan mereka dan merendahkan tuhan-tuhan mereka seraya mengajarkan agama baru yang mengajak dan menyeru kepada manusia agar mempertuhankan Allah Swt. yang Esa. Hijrah ke Habsyah akhirnya harus dilakukan para sahabat guna menghindari tekanan kaum musyrikin. Inilah sebagian tantangan dan rintangan dakwah yang harus dihadapi pada zaman Nabi Saw., yang selanjutnya berkat usaha keras, dan keteguhan hati Nabi Saw. dan para sahabat dalam menyeru umat manusia kepada Islam, serta adanya pertolongan dan hidayah dari Allah Swt. Islamisasi di jazirah Arab pun semakin melebarkan sayapnya hingga kaum musyrikin yang mayoritas menolak dan menentang Islam, terbuka hatinya untuk beriman dan masuk Islam. Setelah Nabi Saw. wafat, estafet dakwah Islamiyah pun harus tetap berlangsung, dan di era kini generasi muslim adalah para pengemban amanat dan tugas mulia nan berat ini, yang tentunya tantangan dan rintangannya yang harus dihadapi berbeda dengan apa yang telah dihadapi oleh Nabi Saw. dan para sahabat pada zaman dulu.

Di era modern yang di dalamnya telah berkembang ilmu pengetahuan dan teknologi serta munculnya para intelek adalah sebagian tantangan dakwah yang harus dihadapi. Tentunya sebelum menyeru kepada orang lain seorang da’i haruslah mengetahui, memahami, dan mendalami Islam dan ajaran-ajarannya, sehingga dalam menjalankan dakwah Islamiyah ia benar-benar berperan sebagai penyeru yang membagi cahaya kebenaran dan menunjukkan jalan yang lurus, bukan menyesatkan dan menjerumuskan ke jalan kesengsaraan.

Esensi dan Metodologi Dakwah Islamiyah

Dakwah Islamiyah secara linguistik dapat diartikan menyeru dan mengajak kepada Islam. Namun sebenarnya kalimat dakwah, seperti yang termaktub dalam kitab Fiqh al-Da’wah al-Islâmiyah karya Dr. Hasan Abdul Rauf Muhammad al-Badawy, mempunyai dua makna. Makna yang pertama, “al-Islâmu ka dîn”, Islam dalam kontek sebagai “agama” yang tercermin dari kalimat syahadat (bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah) dan tauhid (lâ ilâha illa Allah), serta makna yang terkandung didalamnya. Makna yang kedua, “nasyru al-Islâm”, yaitu menyebarkan Islam. Dari kedua definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwasanya dakwah Islamiyah adalah suatu gerakan penyebaran Islam dan menyampaikannya kepada umat manusia sehingga mereka bisa menerimanya beserta ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya.

Tauhid yang dicakup oleh kalimat syahadat merupakan tujuan awal dakwah, karena kalau dicermati tidak ada agama di muka bumi ini yang menyeru pemeluknya kepada tauhid (pengesaan Tuhan) kecuali agama Islam. Dakwah merupakan jihad yang agung, karena tindakan ini menyeru umat manusia kepada tauhid (pengesaan tuhan) dan mengajak keluar dari lembah kemusyrikan yang menyamakan kedudukan makhlûq dengan khâliq. Syirik dalam al-Qur’an dikatakan sebagai al-dzulmu al-‘adzîm, yaitu dalam firman-Nya “sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”. (QS. Luqman: 13). Sedangkan tauhid dalam al-Qur’an dikatakan sebagai al-haqq, seperti firman-Nya “maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan, maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)”. (QS. Yunus: 32).

Dari sini dapat diketahui bahwa esensi dari dakwah Islamiyah adalah menyeru kepada tauhid dan meninggalkan kemusyrikan dengan bersyahadat yang disertai pengetahuan dan pemahaman akan makna syahadat itu sendiri, seraya melaksanakan dan menerima konsekuensi dari “persaksian” tersebut, yaitu perbuatan yang tercakup dalam sebuah tindakan “taqwa”, melaksanakan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah Swt. dan menjauhi apa-apa yang dilarang.

Dalam kitab al-Bayân Limâ Yusyghil al-Adzhân karya Dr. Ali Jum’ah dikatakan bahwasanya makna dari kalimat tauhid -lâ ilâha illa Allah- adalah tidak ada sesuatu yang wajib disembah melainkan Allah Swt., dan setiap sesuatu yang disembah selain Allah adalah perbuatan bâthil. Dalam kalimat tauhid -lâ ilâha illa Allah- juga mengandung peniadaan hak atas segala sesuatu untuk disembah kecuali Allah Swt., berbeda dengan orang komunis yang meniadakan hak sesuatu untuk disembah dengan paham “tidak ada tuhan”, dan orang-orang musyrik yang menganggap adanya sekutu bagi Allah dan menyamakan kedudukan antara makhlûq dan khâliq dengan paham “tidak ada tuhan selain Allah, berhala, matahari, bintang, Isa al-Masih, ‘Uzair, Budha dan lain sebagainya”. Hanya Islamlah yang mempunyai paham pengesaan Tuhan yang menganggap bahwa makhluk tidak punya hak untuk disembah akan tetapi hanya Allah Tuhan Pencipta alam yang wajib disembah. Persaksian akan keesaan Tuhan pun tidak akan sempurna kecuali dibarengi dengan mengakui akan adanya seorang utusan yang diutus oleh Allah Swt. dalam menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia. Dalam kitab yang sama, Dr. Ali Jum’ah menjelaskan akan adanya korelasi antara dua kalimat syahadat, persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dalam kalimat pertama -lâ ilâha illa Allah- mengandung makna tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Allah Swt.. Dari statemen ini timbul pertanyaan “bagaimana menyembah dan beribadah kepada Allah?”. jawaban dari pertanyaan tersebut terkandung dalam kalimat kedua –Muhammad rasulullah-, yaitu dengan cara yang telah diajarkan oleh Nabi Saw., yaitu syariat Islam. Amal dan ibadah seorang hamba tidak akan diterima kecuali dibarengi rasa ikhlas karena Allah Swt. dan sesuai dengan syariat Islam yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.. Dalam al-Qur’an, Allah Swt. telah berfirman “katakanlah: jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosamu, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Ali ‘Imrân: 31), dalam surat lain Allah Swt. juga berfirman “barangsiapa mentaati Rasul itu, maka ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa berpaling dari ketaatan maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. Al-Nisâ`: 80). Sedangkan dalam Al-sunnah, Nabi Saw. pernah bersabda tentang tata cara salat “salatlah seperti kalian melihatku bersalat”. (HR. Ibnu Hibban). Dari dua kalimat syahadat tersebut status seseorang bisa berubah, dari kafir menjadi muslim. Kewajiban mengabdikan diri dalam sebuah paket taqwa harus dilakukan. Rukun Islam juga harus direalisasikan, begitu juga harus mengimani apa yang terkandung dalam rukun iman, percaya kepada Allah, Malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir serta qadha dan qadar.

Selain hal di atas, dakwah Islamiyah yang dalam hal ini diartikan sebagai agama Islam, merupakan jawaban dari tiga pertanyaan berikut; Dari mana kita datang? Untuk apa kita datang? Dan ke mana kita kembali?. Dari pertanyaan pertama Allah Swt. berfirman “hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan…” (QS. Al-Hajj: 5), dari pertanyaan kedua Allah Swt. juga berfirman “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (QS. Al-Dzariyat: 56), sedangkan dari pertanyaan ketiga Allah Swt. berfirman “Allah menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali; kemudian kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. (QS. Al-Rûm: 11).

Sedang dalam mencapai tujuan yang maksiamal, dakwah Islamiyah juga harus dilakukan dengan metode yang baik yang sesuai dengan objek dakwah. Secara garis besar konsep metodologi dakwah telah tersirat dalam al-Qur’an dalam firman-Nya “serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan (mau’idzah hasanah) pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. Al-Nahl: 125). Hikmah dalam ayat tersebut adalah kemampuan seorang da’i tentang bagaimana cara ia bisa mencapai tujuannya yaitu nasyru al-Islâm yang disesuaikan dengan taraf pengetahuan, karakter, dan watak orang-orang yang menjadi objek dakwah. Mau’idzah hasanah bisa berupa suatu nasihat atau pencerahan dengan tadabur sehingga dapat berimplikasi positif dalam hati dan jiwa seseorang yang akhirnya bisa menambah dan memupuk keimanan. Sedangkan mujâdalah merupakan tindakan membantah argumen seseorang yang menentang dan enggan menerima Islam, dan tentunya dalam membantah tersebut harus dengan bantahan yang baik sehinggga bisa meluluhkan hati dan menarik simpati seseorang untuk masuk Islam.

Sedangkan media yang dapat dipakai dalam dakwah dapat dibagi menjadi dua bagian, qauliyah dan kitâbiyah. Dalam media qauliyah, seorang da’i bisa menggunakan cara khutbah, seminar, diskusi, debat dan lain sebagainya. Namun bila diaplikasikan dalam era sekarang, media tulisan merupakan alternatif yang cocok. Ilmu pengetahuan yang sudah maju dan daya minat baca yang sudah tinggi dari semua lapisan masyarakat, dari kaum awam sampai kaum pelajar dan para intelek sangat mendukung metode ini untuk dipakai. Tidak heran jika banyak majalah-majalah dan buku-buku yang berbau religi banyak dicetak dan beredar. Meski bagitu harapan dan tujuan dari itu semua adalah satu yaitu memancarkan cahaya Islam kepada seluruh umat manusia.

Dakwah Ruhiyah

Perkembangan yang sangat pesat dalam segala aspek kehidupan manusia di era modern ini harus disikapi sebaik mungkin oleh seorang muslim. Ia harus tetap bisa menjaga identitasnya sebagai seorang muslim yang sejati, yang mengetahui kewajiban yang harus dilakukan dan larangan yang harus ditinggalkan. Tidak sedikit kita jumpai fakta yang memilukan dan menyedihkan dari orang yang mengaku dirinya adalah seorang muslim yang terpelajar. Sebagai contoh, caba kita tengok sebentar beberapa perguruan tinggi Islam yang berada di Indonesia, tempat belajar menuntut ilmu yang tujuan utamanya adalah mencetak para kader ulama muslim yang berkepribadian Islam dan berpengetahuan luas justru malah melahirkan para intelek "gombal" yang mengagungkan dan menuhankan rasio mereka. Dari situ terbentuklah sebuah komunitas yang bimbang dan meningggalkan ajaran Islam, bahkan sampai menentangnya. Meningggalkan kewajiban seorang muslim –salat, zakat, puasa, dan lain-lain- adalah menjadi hal yang biasa. Meragukan otentisitas kitab suci al-Qur’an dan menganggapnya sebagai produk budaya Muhammad adalah anggapan yang muncul dari pikiran mereka. Sehingga kebanggaan menjadi seorang muslim pun hilang dan sirna, yang ujungnya dari itu semua timbulnya keengganan mempertahankan identitas sebagai seorang muslim dan tertarik untuk meninggalkan Islam dan masuk agama lain alias “murtad” (na’ûdzu billâhi min dzâlik).

Kedewasaan berpikir dari kaum intelek yang menuhankan rasio mereka haruslah diimbangi dengan kekuatan naluri hati yang meyakini akan kebenaran ajaran Islam. Dakwah ruhiyah merupakan obat yang harus mereka minum untuk menyembuhkan luka liberalisme mereka, karena bagaimanapun juga rasio mempunyai limit dalam berpikir. Menanamkan aqidah yang kuat dalam setiap diri seorang muslim merupakan hal pertama yang harus dilakuakan, yang dibarengi dengan menghidupkan cahaya ilahiyah di hati nurani dengan cara tazkiyatu al-nafs dari kotoran-kotoran hawa nafsu. Sehingga hati nulari insan bisa mengontrol segala sikap dan tingkah laku yang akhirya tercipta hubungan antara Tuhan dan hamba yang kuat. Hal pertama yang selalu dilakukan oleh Nabi Saw., para Khulafa Rasyidin, dan orang-orang salafu al-shâlihîn dalam suatu majelis adalah berwasiat untuk senantiasa bertaqwa dan memenuhi hati dengan cinta kepada Allah Swt., serta mendekatkan diri kepada-Nya dengan selalu taat beribadah. Karena iman kepada Allah Swt. adalah hal yang harus diutamakan diatas yang lainnya dalam bidang aqidah, begitu juga berinteraksi, berhubungan, dan mendekatkan diri pada-Nya harus diutamakan dalam bidang ibadah, sebagaimana takut kepada-Nya dan mengharap ridha-Nya dalam bidang akhlak dan muamalat. Sehingga salat, ibadah, hidup, dan mati hanyalah semata-mata karena Allah.

Dalam menguatkan tali vertikal antara Tuhan dan seorang hamba dapat ditempuh dengan dua cara; pertama, pemahaman dan pentadabburan al-Qur’an dan al-Sunnah. Dari cara tersebut akan muncul pengetahuan tentang hakikat hidup sebenarnya, yaitu menjalankan sebuah paket pengabdian menyembah Allah Swt.. Cara yang kedua, berupa tindakan ibadah, seperti salat, dzikir kepada Allah Swt., puasa, infak dijalan Allah, dan lain sebagainya. Dan akhirnya, dengan aqidah yang kuat serta hati nurani yang telah bersih yang dipenuhi cahaya ilahiyah seorang akan bisa menjaga dirinya untuk selalu berjalan di jalan-Nya sehingga bisa terhindar dari perkara-perkara yang mungkin bisa menjerumuskan dirinya dan orang-orang di sekitarnya ke dalam jurang kesesatan dan kesengsaraan, insya Allah! Wallâhu a’lamu bi al-sahwâb.

0 comments:

Post a Comment