Abu Hurairah; Testimoni Tentang Keistimewaan dan Kefakihannya

Labels: |

Adalah Abu Hurairah, seorang sahabat Nabi Saw yang memeluk Islam pada tahun ke-VII setelah hijrah Nabi Saw dari Mekah ke Madinah, tahun di mana terjadi peristiwa Khaibar.  Pada masa jahiliyah ia bernama asli Abdu al-Syams. Kemudian namanya diganti oleh Nabi Saw dengan Abdurrahman. Setelah ia mengetauhi keistimewaan dan keutamaan shuhbah (mendampingi –hidup bersama- Nabi Saw), ia pun memutuskan untuk hijrah ke Madinah dan meninggalkan kampung halaman dan kabilahnya, Daus di wilayah Yaman. Bukan itu saja, faktor lain yang menjadikan ia memilih hijrah ke kota Nabi Saw adalah keinginannya yang kuat untuk memperoleh ilmu agama secara langsung dari Nabi Saw dan  juga kesadarannya bahwa dalam bidang ilmu dan pengetahuan agama, ia telah tertinggal jauh dari para sahabat lainnya yang telah dulu masuk Islam.

Kesungguhannya dalam mencari ilmu dan ketekunannya dalam mendengarkan hadits mendorong ia untuk senantiasa berada bersama Nabi Saw, baik dalam kondisi berpergian maupun sebaliknya. Sehingga tidak mengherankan jika ia termasuk golongan para sahabat yang banyak meriwaayatkan hadits. Dan bahkan, ia tercatat sebagai perawi hadits yang ‘paling banyak’ meriwayatkan hadits-hadits Nabi Saw. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar ketika diketahui bahwa ia masuk Islam pada tahun ke-VII H dan Nabi Saw wafat pada tahun XI H. Ada waktu sekitar 4 sampai 5 tahun yang ia gunakan dalam menimba ilmu dan mengambil hadits dari Nabi Saw. Sedang di sisi lain, banyak para sahabat Nabi Saw yang telah dulu masuk Islam dan berkesempatan hidup bersama Nabi Saw lebih lama dibandingkan dengan Abu Hurairah. Namun realita berbicara bahwa periwayatan mereka terhadap hadits tidak melebihi apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Jika demikian halnya, lantas apakah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah semuanya benar-benar dari Nabi Saw(?)



Nalar normal mengatakan, seharusnya hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tidak melebihi dari apa yang diriwayatkan oleh para sahabat yang telah dulu masuk Islam. Karena tenggang waktu bagi Abu Hurairah dalam menerima hadits dari Nabi Saw hanya sekitar 4 sampai 5 tahun. Dan sebaliknya, banyak para sahabat lain yang telah menerima hadits dari Nabi Saw sejak masa awal munculnya Islam di Mekah. Sebut saja Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Utsman Bin Affan dan para sahabat lainnya yang termasuk dalam golongan al-sâbiqûn al-awwalûn. Nah, sebelum menjawab pertanyaan di atas, alangkah bijak dan baiknya mengenal lebih dekat dulu sosok Abu Hurairah, baik dari sisi keilmuannya yang sangat begitu luas maupun dari sisi periwatannya terhadap hadits-hadits Nabi Saw yang begitu banyak.

Faktor penyebab keluasan ilmu

1. Kesungguhan dalam mencari ilmu
Kepribadian Abu Hurairah yang sangat haus akan sebuah pengetahuan membuatnya tamak terhadap ilmu-ilmu agama, terlebih setelah sadar bahwa ia telah tertinggal jauh dari para sahabat yang telah dulu masuk Islam. Banyak riwayat yang mengisahkan kesungguhan dan ketekunan Abu Hurairah dalam mencari ilmu. Sebut saja riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Hakim dari Muhammad bin Qays bin Makhramah bahwa seorang laki-laki datang kepada Zaid bin Tsabit dan bertanya tentang sesuatu, lalu Zaid berkata kepadanya, “Sebaiknya kamu datang saja kepada Abu Hurairah. Ketahuilah bahwasanya pada suatu hari, ketika aku, seorang sahabatku dan Abu Hurairah berada di masjid, kami berdoa kepada Allah Swt dan berdzikir. Kemudian Nabi Saw datang dan duduk bersama kami. Lalu bersabda, “Kembali lakukan apa yang barusan kalian lakukan.” Zaid berkata, “Maka akupun berdoa begitu juga seorang sahabatku tadi sebelum Abu Hurairah, dan Nabi Saw mengamini doa kami.” Kemudian baru Abu Hurairah berdoa, “Ya Allah, aku minta kepada-Mu seperti apa yang diminta kedua sahabatku ini, dan aku juga minta kepada-Mu ilmu yang tak terlupakan.” Dan Nabi Saw mengamini doa Abu Hurairah. Kemudian kami berkata, “Wahai Rasul, kami juga ingin minta ilmu yang tak terlupakan.” Dan Nabi Saw menjawab, “Anak keci dari Daus itu (red: Abu Hurairah) telah mendahului kalian.”

Pada kalimat yang diucapkan Abu Hurairah –dan aku minta ilmu yang tak terlupakan- adalah salah satu indikasi bahwa ia benar sangat haus terhadap ilmu dan pengetauhan. Dan ketika doa tersebut diamini oleh Nabi Saw, tak diragukan lagi bahwa doa tersebut pasti dikabulkan oleh Allah Swt. Selain riwayat di atas, kesaksian Nabi Saw rasanya sudah cukup untuk menjadi bukti terhadap kesungguhan dan ketamakannya terhadap ilmu. Diriwayatkan bahwa suatu hari, Abu Hurairah bertanya kepada Nabi Saw, “Wahai Rasul, siapakah orang yang paling bahagia yang mendapatkan syafa’atmu kelak di hari kiamat?” Nabi Saw pun menjawab, “Wahai Abu Hurairah, sudah aku kira bahwa tidak ada orang lain sebelum kamu yang akan menanyakan tentang hadits ini, karena aku melihat kesunguhanmu dalam –mendapatkan- hadits, orang yang paling bahagia yang mendapatkan syafa’atku kelak di hari kiamat adalah orang yang berkata: La ilâha illalLâh –tiada Tuhan selain Allah- ikhlas dari hatinya (atau dirinya).”

2. Mencurahkan semua waktunya demi mencari ilmu
Kesugguhan dan ketamakan Abu Hurairah terhadap ilmu ternyata menyebabkannya mencurahkan segala waktunya untuk selalu mendampingi Nabi Saw dan mendengarkan hadits-hadits darinya. Diriwayatkan bahwa suatu ketika, Sayyidah Aisyah Ra memanggil Abu Hurairah, dan berkata, “apa hadits-hadits yang telah sampai kepada kami, yang telah kamu riwayatkan dari Nabi Saw(?) Bukankah kamu mendengar kecuali apa yang kami dengar dan melihat kecuali apa yang kami lihat?” Dan Abu Hurairah pun menjawab, “Wahai Ibu, sesungguhnya cermin, celak dan berhias diri telah menyibukkanmu dari Rasul Saw. Sedangkan aku, demi Allah, tiada sesuatu pun yang memnyibukkanku (dari Nabi Saw).” Dan dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Aisyah Ra menjawabnya, “Ya, mungkin saja begitu.”

Selain itu, banyak juga dari para sahabat lain yang memberi testimoni terhadap kelebihan Abu Hurairah dalam hal ‘mendengarkan’ hadits langsung dari Nabi Saw dan keseriusannya dalam mencurahkan segala waktunya demi mendengarkan hadits. Adalah Abdullah bin Umar Ra yang mengakui kelebihan yang dimiliki oleh Abu Hurairah. Diriwayatkan dari Imam Tirmidzi dari Abdullah bin Umar, bahwa ia berkata kepada Abu Hurairah, “Wahai Abu Hurairah, engkau adalah orang yang paling sering mendampingi Rasul Saw dan yang paling –banyak- menghafal haditsnya di antara kami.” Kavakuman dari aktifitas lain, seperti bercocok tanam yang dilakukan oleh kaum al-Anshâr dan berdagang yang digeluti oleh kaum al-Muhâjirîn juga menjadi salah satu faktor pedukung bagi Abu Hurairah untuk mencurahkan segala waktu yang dimilikinya untuk mendengarkan hadits.

3. Superioritas Keberkahan Doa Nabi Saw
Banyak keberkahan Nabi Saw yang tercurah dan berdampak positif bagi kondisi para sahabat. Jika melihat sejarah, tidak sedikit dari para sahabat yang diberi kesembuhan, kekayaan, dan dikabulkan permintaannya oleh Allah Swt karena keberkahan dari Nabi Saw. Dan salah satu sahabat yang mendapatkan bagian dari keberkahan Nabi Saw tersebut adalah Abu Hurairah, yaitu lewat doa Nabi Saw untuk Abu Hurairah agar terhindar dari ‘lupa ilmu’. Suatu hari, Abu Hurairah mengadu kepada Nabi Saw karena ‘lupa’ -terhadap ilmu-, dan berkata, “Wahai Rasul, sesungguhnya aku telah mendengarkan banyak hadits darimu, namun aku telah lupa.” Lalu Nabi Saw berkata kepadanya, “bentangkan surbanmu/ pakaianmu!” Berkata Abu Hurairah, “aku pun membentangkannya dan Nabi Saw menciduknya dengan kedua tangannya. Kemudian Nabi Saw berkata, pakailah! Dan aku pun memakainya, maka setelah itu aku pun tidak lupa sesuatu apapun.”

Salah satu hal yang menunjukkan kuatnya ingatan Abu Hurairah adalah apa yang telah dilakukan Marwan bin al-Hakam -salah satu hakim saat itu- terhadapa Abu Hurairah. Suatu ketika, Marwan memanggil Abu Hurairah untuk mengetes kekuatan ingatan dan hafalannya. Marwan pun melontarkan beberapa pertanyaan kepada Abu Hurairah dan seorang penulis berada di belakang satir menulis jawaban Abu Hurairah dari pertanyaan yang diajukan. Dan setelah tenggang satu tahun, Marwan bin al-Hakam memanggilnya lagi dan memberikan pertanyaan sama dengan pertanyaan setahun yang lalu, sedangkan penulisnya tadi mecocokkan jawaban dengan jawabanya setahun yang lalu. Dan benar saja, jawaban yang diucapkan oleh Abu Hurairah sama persis dengan yang diucapkannya setahun yang lalu. Ini menunjukkan bahwa ingatan dan hafalan Abu Hurairah tidak diragukan lagi.

4. Keberanian dalam Mencari Ilmu
Ilmu bagi Abu Hurairah adalah sesuatu yang sangat penting dan berarti. Tidak heran jika ia selalu mencurahkan segala waktu, tenaga dan apa yang dimilikinya demi mendapatkan ilmu. Ini semua menyebabkannya berani untuk mengajukan pertanyaan kepada Nabi Saw. Bahkan dari semangatnya dalam bertanya, Nabi saw pernah berkata kepadanya saat ia menanyakan tentang hadits syafa’at, “Wahai Abu Hurairah, sudah aku kira bahwa tidak ada orang lain sebelum kamu yang akan menanyakan tentang hadits ini, karena aku melihat kesunguhanmu dalam –mendapatkan- hadits”

Para sahabat lain juga mengakui keberanian yang dimiliki oleh Abu Hurairah dalam mendapatkan ilmu. Adalah Ubay bin Ka’ab yang pernah berkata, “sesungguhnya Abu Hurairah adalah seoarang yang berani bertanya tentang sesutu kepada Nabi Saw yang tidak -berani- ditanyakan oleh –para sahabat- lainnya.”

5. Ketekunan dalam beridabadah
Ketaatan dan kedekatan dengan Allah Swt adalah salah satu pintu dalam mendapatkan ilmu. Dalam al-Quran banyak ayat yang menunjukan bahwa takwa merupakan salah satu sebab memperoleh cahaya ilahi. Firman Allah dalam al-Quran, “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (Qs. al-Thalâq: 3) dan juga firman-Nya, “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. (Qs. al-Thalâq: 4) Serta “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqân (pembeda). Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni -dosa-dosa- mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”. (al-Anfâl: 29)

Ayat-ayat diatas menjelaskan betapa besar peran ‘ketakwaan’ bagi seorang hamba dalam meraih ilmu dan cahaya Ilahi. Sebab sebagaimana diketahui, ilmu dan pengetahuan adalah anugerah dari Allah Swt. Banyak orang yang membaca satu buku yang sama, namun tidak semua orang yang membaca buku tadi bisa memetik dan meraih ilmu dari buku yang dibaca tadi. Dan bahkan, kesimpulan yang didapat oleh orang-orang yang membaca buku tadi berbeda antara satu dan lainya. Ini, menunjukkan bahwa ilmu adalah sebuah anugerah dari Allah Swt bagi para hamba-Nya. Orang yang senantiasa menjalankan perintah Allah Swt dengan hati yang ikhlas dan disertai dengan pengharapan ridha dari-Nya dan juga menjauhi segala larangan-Nya akan merasakan ketenangan hati dan kejernihan pikiran. Sehingga dengan kebersihan hati dan kejernihan pikiran tersebut, seseorang akan mudah dalam menerima cahaya dari Allah, yaitu ilmu.

Abu Hurairah dikenal sebagai sosok yang zuhud dan rajin beribadah. Ia hanya mengisi hidupnya dengan beribadah di Masjid Nabi Saw dan mendengarkan hadits-hadits beliau. Dalam salah satu hadits yang diriwayatkannya, ia berkata, “Kekasihku (Nabi Saw) telah berwasiat kepadaku dengan tiga perkara yang tidak –pernah- ku tinggalkan sampai aku meninggal; puasa tiga hari di tiap bulan, salat dhuha, dan tidur dalam –keadan sudah- salat witir.”

Selain lima faktor di atas yang menyebabkan keluasan ilmu Abu Hurairah, ada juga faktor yang menyebabkan ilmu dan hadits yang ia dapat dari Nabi saw tersebar luas ke berbagai pelosok saat itu. Di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kesungguhan dan ketekunan dalam menyampaikan hadits
Sebesar kesungguhan dan ketekunan Abu Hurairah dalam menghafal hadits dari NAbi Saw, sebesar itu pula kesungguhan dan ketekukannnya dalam menyampaikan hadits-hadits tersebut ke umat. Ini tak lain karena Islam telah mengajarkan kepada umatnya untuk mencari ilmu (red: belajar) dan juga menyampaikan ilmu tersebut (red: mengajar) kepada umat muslim lainnya. Banyak ayat al-Quran dan hadits Nabi Saw yang berbicara tentang hal ini. Diriwayatkan bahwa suatu hari ia pernah berkata, “jika bukan karena dua ayat yang telah Allah Swt turunkan di kitab-Nya, sungguh saya tak kan pernah menyampaikan hadits selamanya: ”Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Baqarah: 159-160)

2. Metode menyerap ilmu
Metode Abu Hurairah dalam menyerap dan mendapatkan ilmu telah bebas dan selamat dari cacat. Artinya, ia benar-benar tahu bagaimana cara baik dan apik demi mendapatkan sebuah ilmu. Dalam hal ini, bisa dilihat melalu dua sisi:
Pertama, kebenaran maklumat (pengetahuan) yang ia terima. Maksudnya, ia benar paham terhadap ‘posisi’ tinggi yang disandang oleh hadits Nabi Saw. Jelas, bahwa hadits tak lain adalah agama dan wahyu Tuhan. Dalam Islam, hadits adalah landasan dan pondasi utama setelah al-Quran.
Kedua, kebersihan maklumat (pengetahuan) yang ia miliki. Artinya, anugerah kekuatan hafalan yang telah diberikan oleh Allah Swt kepadanya tidak ‘disalahgunakan’ dalam menghafal syair-syair, nasab, kisah-kisah, dan lain sebagainya. Namun ia hanya fokus dan konsen dalam menghafal hadits Nabi Saw. Selain itu, ia juga mempunyai keinginan bahwa ilmu-ilmu yang ia dapatkan sebisa mungkin hanya berasal dari dua sumber, al-Quran dan al-Hadits.

3. Tingkat keilmuan
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tetimoni tentang ketinggian tingkat keilmuannya. Dan orang pertama yang memberi testimoni tersebut adalah Nabi Saw sendiri. Ini dapat dilihat di hadits syafa’at yang ditanyakan kepada Nabi Saw. Selain itu, Nabi Saw juga pernah bersabda bahwa “Abu Hurairah adalah bejana ilmu”. Dari kalangan sahabat juga mengakui kelebihan yang dimiliki oleh Abu Hurairah. Sebut saja tentang kelebihannya dalam mendengarkan hadits, mulâzamah (menyertai) Nabi Saw, mencurahkan segalanya demi hadits, keberaniannya bertanya kepada Nabi Saw, kelebihan mendengarkan dan mengetahui apa yang tidak didengar dan diketahui oleh kebanyakan para sahabat lain. Selain itu, banyak juga ulama yang memberikan testimoni terhadap posisi keilmuan Abu Hurairah, di antaranya adalah Imam Syafi’i, Imam Bukhari, Ibnu Khuzaimah, Imam al-Hakim, Imam al-Dzahabi dan masih banyak lagi.

4. Status Fakih
Kelebihan yang dimiliki oleh Abu Hurairah bukan hanya kekuatan dalam menghafal, namun ia juga mempunyai kelebihan dalam memahami teks-teks al-Quran dan al-Hadits dan mengambil istimbâth darinya. Ia bukan hanya seorang ‘pentransfer’ hadit, tapi lebih dari itu, ia juga seorang fakih yang memahami dan mengetahui betul apa yang sedang dia hafal serta dapat mengambil istimbâth hukum-hukum yang tersirat dalam teks syariat tersebut.

Dari paparan singkat nan sederhana ini, pertanyaan besar yang berada di paragraf kedua di atas rasanya sudah tak memerlukan jawaban lagi. Keistimewaan dan kelebihan yang dimilki oleh Abu Hurairah telah memperoleh testimony dari banyak kalangan. Hal ini amat sangat memungkinkan baginya untuk mendapatkan dan meriwayatkan hadits melebihi apa yang diperoleh dan diriwayatkan oleh para sahabat lainnya. Sehingga kalau sudah begini, ‘tudingan negatif’ yang diarahkan oleh ‘musuh’ Islam (red: orientalis) kepada Islam, khususnya yang menyangkut sosok Abu Hurairah adalah sebuah kebohongan belaka. Tak lain –tujuan mereka- adalah demi membuat lapuk dan keropos kepercayaan umat terhadap validitas hadits yang telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Mengingat banyaknya hadits-hadits yang telah ia riwayatkan kepada umat. Lantas, sudahkah kita menyiapkan jawaban lain untuk mematahkan ‘tudingan negatif’ lainnya yang ditujukan ke wajah Islam(?) WalLâhu a’lam bi al-shawâb.


*Disarikan dari buku Daf’u al-Syubuhât ‘an al-Hadîts al-Nabawy karya Dr. Sa’ad Jawisy, semoga bermanfaat!

2 comments:

Njowotenan said...

cairo punya

nurelihsan said...

juga pernah singgah di Ponorogo...

Post a Comment